Dipostingoleh awalludin ma'rifatullah di 23.43. Itulah tadi kumpulan mahfudzot kelas 1 semester 1 dan 2 yang baik tentang kehidupan, cinta, ilmu, dan adab. Contoh Pertanyaan Wawancara Tentang Budidaya Tanaman Hias . April 2022 (1) Maret 2022 (24) Februari 2022 (21) Januari 2022 (21) Desember 2021 (14) November 2021 (18) Oleh Tim kajian dakwah alhikmah – Mungkin ada di kalangan kaum muslimin yang bertanya kenapa pada saat ini kita masih perlu berbicara tentang Allah padahal kita sudah sering mendengar dan menyebut namaNya, dan kita tahu bahwa Allah itu Tuhan kita. Tidakkah itu sudah cukup untuk kita? Tidak. Jangan sekali-kali kita merasa cukup dengan pemahaman dan pengenalan kita terhadap Allah. Karena, semakin memahami dan mengenaliNya kita merasa semakin dekat denganNya. Selain itu, dengan pengenalan yang lebih dalam lagi, kita bisa terhindar dari pemahaman-pemahaman yang keliru tentang Allah dan kita terhindar dari sikap-sikap yang salah terhadap Allah. Ketika kita membicarakan makrifatullah, maknanya kita berbicara tentang Rabb, Malik, dan Ilah kita. Rabb yang kita pahami dari istilah Al-Qur’an adalah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa. Kata Ilah mengandung arti yang dicintai, yang ditakuti, dan juga sebagai sumber pengharapan. Makna seperti ini ada di dalam surat An-Naas 114 1-3. Dengan demikian jelaslah bahwa usaha kita untuk lebih jauh memahami dan mengenal Allah adalah bagian terpenting di dalam hidup ini. Lantas, bagaimana metoda yang harus kita tempuh untuk bisa mengenal Allah? Apa saja halangan yang senantiasa menghantui manusia dari mengenalNya? Benarkan kalimat yang mengatakan, “Kenalilah dirimu niscaya engkau akan mengenali Tuhanmu.” Dari pengenalan diri sendiri, maka ia akan membawa kepada pengenalan makrifah yang menciptakan diri, yaitu Allah. Ini adalah karena pada hakikatnya makrifah kepada Allah adalah sebenar-benar makrifah dan merupakan asas segala kehidupan rohani. Setelah makrifah kepada Allah, akan membawa kita kepada makrifah kepada Nabi dan Rasul, makrifah kepada alam nyata dan alam ghaib dan makrifah kepada alam akhirat. Keyakinan terhadap Allah swt. menjadi mantap apabila kita mempunyai dalil-dalil dan bukti yang jelas tentang kewujudan eksistensi Allah lantas melahirkan pengesaan dalam mentauhidkan Allah secara mutlak. Pengabdian diri kita hanya semata-mata kepada Allah saja. Ini memberi arti kita menolak dan berusaha menghindarkan diri dari bahaya-bahaya disebabkan oleh syirik kepadaNya. Kita harus berusaha menempatkan kehidupan kita di bawah bayangan tauhid dengan cara kita memahami ruang perbahasan dalam tauhid dengan benar tanpa penyelewengan sesuai dengan manhaj salafush shalih. Kita juga harus memahami empat bentuk tauhidullah yang menjadi misi ajaran Islam di dalam Al-Qur’an maupun sunnah, yaitu tauhid asma wa sifat, tauhid rububiah, tauhid mulkiyah, dan tauhid uluhiyah. Dengan pemahaman ini kita akan termotivasi untuk melaksanakan sikap-sikap yang menjadi tuntutan utama dari setiap empat tauhid tersebut. Kehidupan paling tenang adalah kehidupan yang bersandar terus kecintaannya kepada Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu kita harus mampu membedakan di antara cinta kepada Allah dengan cinta kepada selainNya serta menjadikan cinta kepada Allah mengatasi segala-galanya. Apa yang menjadi tuntutan kepada kita ialah kita menyadari pentingnya melandasi seluruh aktivitas hidup dengan kecintaan kepada Allah, Rasul, dan jihad secara minhaji. Di dalam memahami dan mengenal Allah ini, kita seharusnya memahami bahwa Allah sebagai sumber ilmu dan pengetahuan. Ilmu-ilmu yang Allah berikan itu menerusi dua jalan yang membentuk dua fungsi yaitu sebagai pedoman hidup dan juga sebagai sarana hidup. Kita juga sepatutnya menyadari kepentingan kedua bentuk ilmu Allah dalam pengabdian kepada Allah untuk mencapai tahap takwa yang lebih cemerlang. Ayat-ayat Allah ada dalam bentuk ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Kedua jenis ayat-ayat Allah ini terbuka bagi siapa saja yang ingin membaca dan menelitinya. Namun terdapat berbagai halangan akan muncul di hadapan kita dalam mengenali Allah. Halangan-halangan ini muncul dalam bentuk sifat-sifat pribadi kita yang bersumberdari syahwat –seperti nifaq, takabbur, zhalim, dan dusta– dan sifat-sifat yang bersumber dari syubhat –seperti jahil, ragu-ragu, dan menyimpang. Kesemua sifat-sifat fujur itu akan menghasilkan kekufuran terhadap Allah swt. Ahammiyah Ma’rifatullah Urgensi mempelajari Makrifatullah Riwayat ada menyatakan bahwa perkara pertama yang mesti dilaksanakan dalam agama adalah mengenal Allah awwaluddin ma’rifatullah. Bermula dengan mengenal Allah, maka kita akan mengenali diri kita sendiri. Siapakah kita, di manakah kedudukan kita berbanding makhluk-makhluk yang lain? Apakah sama misi hidup kita dengan binatang-binatang yang ada di bumi ini? Apakah tanggung jawab kita dan ke manakah kesudahan hidup kita? Semua persoalan itu akan terjawab secara tepat setelah kita mengenali betul Allah sebagai Rabb dan Ilah, Yang Mencipta, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Dalil-dalil QS. Muhammad 47 19 Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah sesembahan, Tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. Ayat ini mengarahkan kepada kita dengan kalimat “ketahuilah olehmu” bahwasanya tidak ada ilah selain Allah dan minta ampunlah untuk dosamu dan untuk mukminin dan mukminat. Apabila Al-Qur’an menggunakan sibghah amar perintah, maka menjadi wajib menyambut perintah tersebut. Dalam konteks ini, mengetahui atau mengenali Allah ma’rifatullah adalah wajib. QS. Ali Imran 3 18 Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia yang berhak disembah, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan yang demikian itu. Tak ada Tuhan melainkan Dia yang berhak disembah, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan melainkan Dia, dan telah mengakui pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu sedang Allah berdiri dengan keadilan. Tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. QS. Al-Hajj 22 72-73 Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah, “Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?” Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah pulalah yang disembah. QS. Az-Zumar 39 67 Mereka tidak mentaqdirkan Allah dengan ukuran yang sebenarnya sedangkan keseluruhan bumi berada di dalam genggamanNya pada Hari Kiamat dan langit-langit dilipatkan dengan kananNya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan. Tema Perbicaraan Makrifatullah – Allah Rabbul Alamin. Ketika membicarakan ma’rifatullah, artinya kita sedang membicarakan tentang Rabb, Malik, dan Ilah kita. Rabb yang kita pahami dari istilah Al-Qur’an adalah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, dan Penguasa. Sedangkan kata Ilah mengandungi arti yang dicintai, yang ditakuti, dan juga sebagai sumber pengharapan. Hal ini termaktub dalam surat An-Naas 114 1-3. Inilah tema yang dibahas dalam ma’rifatullah. Jika kita menguasai dan menghayati keseluruhan tema ini, bermakna kita telah mampu menghayati makna ketuhanan yang sebenarnya. Dalil-dalil QS. Ar-Ra’du 13 16 Katakanlah, “Siapakah Rabb segala langit dan bumi?” Katakanlah, “Allah.” Katakanlah, “Adakah kamu mengambil wali selain dariNya yang tiada manfaat kepada dirinya dan tidak pula dapat memberikan mudarat?” Katakanlah, “Apakah sama orang buta dengan orang yang melihat? Apakah sama gelap dan nur cahaya?” Bahkan adakah mereka mengadakan bagi Allah sekutu-sekutu yang menjadikan sebagaimana Allah menjadikan, lalu serupa makhluk atas mereka? Katakanlah, “Allah. Allah yang menciptakan tiap tiap sesuatu dan Dia Esa lagi Maha Kuasa.” QS. Al-An’am 6 12 Katakanlah, “Bagi siapakah apa-apa yang di langit dan bumi?” Katakanlah, “Bagi Allah.” Dia telah menetapkan ke atas diriNya akan memberikan rahmat. Sesungguhnya Dia akan menghimpun kamu pada Hari Kiamat, yang tidak ada keraguan padanya. Orang-orang yang merugikan diri mereka, maka mereka tidak beriman.” QS. Al-An’am 6 19 Katakanlah, “Apakah saksi yang paling besar?” Katakanlah, “Allah lah saksi di antara aku dan kamu. Diwahyukan kepadaku Al-Qur’an ini untuk aku memberikan amaran kepada engkau dan sesiapa yang sampai kepadanya Al-Qur’an. Adakah engkau menyaksikan bahawa bersama Allah ada tuhan-tuhan yang lain?” Katakanlah, “Aku tidak menyaksikan demikian.” Katakanlah, “Hanya Dia-lah Tuhan yang satu dan aku bersih dari apa yang kamu sekutukan.” QS. An-Naml 27 59 Katakanlah, “Segala puji-pujian itu adalah hanya untuk Allah dan salam sejahtera ke atas hamba-hambanya yang dipilih. Adakah Allah yang paling baik ataukah apa yang mereka sekutukan?” QS. An-Nur 24 35 “Allah memberi cahaya kepada seluruh langit dan bumi.” QS. Al-Baqarah 2 255 “Allah. Tidak ada tuhan melainkan Dia. Dia hidup dan berdiri menguasai seluruh isi bumi dan langit.” Didukung Dengan Dalil Yang Kuat QS. Al-Qiyamah 75 14-15 Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya. Makrifatullah yang sahih dan tepat itu mestilah bersandarkan dalil-dalil dan bukti-bukti kuat yang telah siap disediakan oleh Allah untuk manusia dalam berbagai bentuk agar manusia berpikir dan membuat penilaian. Oleh karena itu banyak fenomena alam yang dibahas oleh Al-Quran dan diakhiri dengan kalimat pertanyaan tidakkah kamu berpikir, tidakkah kamu mendengar. Pertanyaan-pertanyaan itu mendudukkan kita pada satu pandangan yang konkrit betapa semua fenomena alam adalah di bawah milik dan aturan Allah swt. Dalil-dalil Naqli [QS. Al-An’am 6 19] Katakanlah, “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” Katakanlah, “Allah.” Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al-Qu’ran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an kepadanya. Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?” Katakanlah, “Aku tidak mengakui.” Katakanlah, “Sesungguhnya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dengan Allah.” Aqli, [QS. Ali Imran 3 190] Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Fitri, [QS. Al-A’raf 7 172] Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi.” Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami Bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini keesaan Tuhan.” Dapat Menghasilkan peningkatan iman dan taqwa. Apabila kita betul-betul mengenal Allah mentadaburi dalil-dalil yang dalam, hubungan kita dengan Allah menjadi lebih akrab. Apabila kita dekat dengan Allah, Allah lebih dekat lagi kepada kita. Setiap ayat Allah baik ayat qauliyah maupun kauniyah tetap akan menjadi bahan berpikir kepada kita dan penambah keimanan serta ketakwaan. Dari sini akan menghasilkan pribadi muslim yang merdeka, tenang, penuh keberkatan, dan kehidupan yang baik. Tentunya tempat abadi baginya adalah surga yang telah dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba yang telah diridhaiNya. Kemerdekaan [QS. Al-An’am 6 82] Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman syirik, mereka itulah yang mendapat keamanan; dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Ketenangan [QS. Al-Ra’du 13 28] Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Barakah [QS. Al-A’raf 7 96] Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kami itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Kehidupan Yang Baik [QS. Al-Nahl 16 97] Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Surga [QS. Yunus 10 25-26] Allah menyeru manusia ke Darussalam surga, dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus Islam. Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik surga dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak pula kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. Mardhotillah [QS. Al-Bayinah 98 8] Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya. dkwt download TigaJalan Rohani Ma'rifatullah. 1. Cita Rasa (Dzauq) Cita rasa adalah pengalaman spiritual langsung. Dzauq merupakan tahapan atau lebih tepatnya, haal (kondisi spiritual) pertama dalam pengalaman pengungkapan diri Allah (tajalli). Rasa ini diperoleh dari perjalanan rohani dalam berbagai maqamat, serta berbagai perilaku dzikir dari seorang sufi. Arti Kata Ma'rifatullah dalam Bahasa Arab Viral di TikTok, Benarkah Bermakna Mengenal Allah SWT? - Banyaknya pengguna TikTok membuat kosa kata yang muncul juga beranekaragam. Termasuk kosa kata berbahasa Arab dalam konten-konten yang berkaitan dengan agama Islam, salah satunya kata Ma'rifatullah. Beberapa waktu yang lalu, kata Ma'rifatullah menjadi salah satu kata bahasa Arab yang banyak dicari oleh pengguna TikTok. Banyak yang mengaitkan arti kata Ma'rifatullah dengan hubungan kepada tuhanNya. Lalu apa yang dimaksud dengan kata Ma'rifatullah dalam bahasa Arab yang viral di media sosial? Baca juga Arti Kata Rajab dalam Bahasa Arab, Menjadi Salah Satu Bulan Agung dalam Kalender Hijriyah Baca juga 4 Kosa Kata Bahasa Arab Populer Simak Arti Kata Ya Tarim Syailillah, Yasir Lana hingga Tabarakallah Agar kamu semakin paham tentang arti kata Ma'rifatullah, kamu bisa menyimak informasi di bawah ini. TribunPalu telah menelusuri arti kata Ma'rifatullah dari ceramah Buya Yahya melalui tayangan YouTube Al-Bahjah TV. Arti Kata Ma'rifatullah Buya Yahya menjelaskan jika kata Ma'rifatullah memiliki arti mengenali Allah SWT dengan mengenali makhluknya. Buya mengatakan jika makna Ma'rifatullah yang sederhana ialah menyayangi makhluk Allah SWT. "Mengenali Allah dengan mengenali makhluknya, bukan malah sama istrinya menempeleng gitu, bukan," ujarnya saat menjawab pertanyaan jemaah. Makna Ma'rifatullah ialah memahami Allah SWT yang mana seorang hamba selalu merasa melihat Allah SWT. Kata Ma'rifatullah bukan berarti seorang hamba bisa melihat Allah dalam mengenaliNya. AWALUDINMA'RIFATULLAH Artinya : Awal agama mengenal Allah. 2. LAYASUL SHALAT ILLA BIN MA'RIFAT Artinya : IKHSAN beribadat seolah olah melihat allah, 1.ada pertanyaan para pembaca kitab ini semoga dipahami:wahai saudaraku bagaimana anda mengingat,yang diingatkan ,dan siapa engkau ingat dalam sholat/sembahyang
At Tauhid edisi V/9 Oleh Muhammad Nur Ichwan Muslim Mengenal Allah, Rabbul alamin merupakan intisari dakwah dan risalah. Bahkan hal inilah yang menjadi prioritas utama dalam dakwah setiap rasul. Di berbagai tempat dalam kitab-Nya, Allah memperkenalkan diri-Nya dengan berbagai sifat yang Dia miliki. Sebuah bukti yang jelas bahwa Allah menghendaki agar para hamba mengenal diri-Nya. Bukti yang kongkrit bahwa ma’rifatullah mengenal Allah adalah suatu hal yang dituntut dari diri seorang hamba. Bahkan tidak berlebihan kiranya, jika kita mengatakan bahwa pribadi termulia adalah seorang yang paling mengenal Allah ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Saya adalah pribadi yang paling mengenal Allah dari kalian.” Al Fath, 1/89. Begitu pula, senada dengan makna hadits di atas, adalah apa yang dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah, “Pribadi termulia yang memiliki cita-cita dan kedudukan tertinggi adalah seorang yang merasakan kelezatan dalam ma’rifatullah mengenal Allah, mencintai-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya serta mencintai segala sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya.” Al Fawaa-id, hal. 150. Ma’rifatullah serta Mengenal Nama dan Sifat-Nya Pertanyaan yang mungkin terbersit dalam benak kita adalah, “Siapakah ahli ma’rifah tersebut?” atau “Bagaimanakah potret seorang yang dapat dikategorikan sebagai ahli ma’rifah?” Biarlah hal ini dijawab oleh sang pakar hati, Abu Bakr Az Zur’i yang terkenal dengan Ibnul Qayyim, Syaikhul Islam kedua. Beliau mengatakan, “Al arif orang yang mengenal Allah dengan benar menurut para ulama adalah orang yang mengenal Allah ta’ala dengan berbagai nama, sifat dan perbuatan-Nya. Kemudian dibuktikan dalam perikehidupannya yang dibarengi niat dan tujuan yang ikhlas…” Madaarijus Saalikin, 3/337. Pernyataan beliau di atas menunjukkan bahwa pengetahuan dan keimanan seorang hamba tidak akan kokoh, hingga ia mengimani berbagai nama dan sifat-Nya dengan ilmu pengetahuan yang dapat menghilangkan kebodohan terhadap Rabb-nya. Prof. Dr. Muhammad Khalifah At Tamimi mengatakan, “Pengetahuan pengenalan hamba terhadap berbagai nama dan sifat-Nya berdasarkan wahyu yang disampaikan Allah di dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya akan mampu membuat seorang hamba merealisasikan penghambaan ubudiyah kepada Allah secara sempurna. Setiap kali keimanan terhadap sifat-Nya bertambah sempurna, maka kecintaan dan keihklasan kepada-Nya akan semakin menguat. Manusia yang paling sempurna dalam penghambaannya kepada Allah adalah orang yang beribadah dengan merealisasikan seluruh kandungan nama dan sifat-Nya.” Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fii Tauhidil Asma wash Shifaat, Oleh karena itu, mempelajari dan memahami berbagai nama dan sifat Allah merupakan hal yang sangat urgen karena memiliki kaitan yang erat dengan kewajiban untuk mengenal Allah ma’rifatullah. Kaidah Dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Masalah Nama dan Sifat Allah Kaidah pokok yang diyakini oleh ahlus sunnah wa jama’ah dalam hal ini adalah meneliti semua dalil yang berbicara mengenai nama dan sifat Allah tanpa merusaknya dengan cara mentakwil atau menyelewengkan maknanya. Hal inilah yang akan menghantarkan seorang kepada ma’rifatullah yang benar. Ketika ia mengimani berbagai sifat Allah yang ditetapkan oleh diri-Nya sendiri dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ia mengetahui bahwa Allah memiliki berbagai sifat yang sempurna dan agung. Tidak ada ruang di dalamnya untuk menyelewengkan berbagai sifat tersebut dengan makna-makna yang batil. Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi’i dalam Tafsirnya 2/294 mengatakan, “Sesungguhnya dalam permasalahan ini pembahasan mengenai nama dan sifat Allah kami meniti menempuh madzhab salafush shalih, yaitu jalan yang ditempuh juga oleh imam Malik, Al Auza’i, Ats Tsauri, Al Laits ibnu Sa’d, Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq ibnu Rahuyah dan imam-imam kaum muslimin selain mereka, baik di masa terdahulu maupun di masa ini. Madzhab mereka dalam permasalahan ini adalah membiarkan dalil-dalil yang berbicara mengenai nama dan sifat-Nya apa adanya, tanpa dibarengi dengan takyif menetapkan hakikat sifat, tasybih menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk dan ta’thil menolak sifat bagi Allah. Segala bentuk gambaran sifat yang terbetik dalam benak kaum musyabbihin golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk tertolak dari diri Allah. Tidak ada satupun makhluk yang serupa dengan-Nya dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” QS. Asy Syura 11. Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam hal ini adalah pendapat yang ditempuh oleh para imam, diantara mereka adalah Nu’aim bin Hammad Al Khaza’i, guru imam Al Bukhari. Beliau mengatakan, “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh dia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya sendiri, maka sungguh dia juga telah kafir. Segala sifat yang ditetapkan Allah dan Rasulullah bagi diri-Nya bukanlah tasybih. Oleh karenanya, seorang yang menetapkan segala sifat yang terdapat dalam berbagai ayat yang tegas dan hadits-hadits yang shahih sesuai dengan keagungan-Nya serta menafikan segala bentuk kekurangan dari diri Allah, maka dia telah menempuh jalan hidayah.” Beberapa Faktor yang Menghalangi Ma’rifatullah Ma’rifatullah terhalang dari diri seorang hamba dengan menafikan sifat-sifat dan menentang berbagai nama yang Dia tetapkan. Bagaimana bisa seorang yang tidak mengakui berbagai nama yang Dia tetapkan berikut sifat yang terkandung di dalamnya bisa mengenal Allah ta’ala?! Bisakah seorang yang tidak mengenal-Nya bisa mencintai-Nya? Al Hasan Al Bashri rahimahullah ta’ala berkata, “Barangsiapa yang mengenal Rabb-nya, niscaya dia akan mencintai-Nya.” Al Hamm wal Hazn Ihya Ulumid Diin, 4/295. Oleh karenanya Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tatkala pujian dan sanjungan dengan menggunakan nama, sifat dan perbuatan-Nya merupakan sesuatu yang paling dicintai oleh-Nya, maka pengingkaran terhadap nama, sifat dan perbuatan-Nya merupakan tindakan ilhad kriminalitas dan kekufuran terbesar kepada-Nya. Tindakan ini lebih buruk daripada kesyirikan. Seorang mu’aththil menafikan nama dan sifat-Nya lebih buruk daripada seorang musyrik, karena kondisi seorang musyrik tidaklah sama dengan derajat orang yang menentang berbagai sifat-Nya dan hakikat kerajaan-Nya serta mencela sifat yang Dia miliki dan menyamakan/menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Maka, pada hakikatnya kelompok mu’aththil golongan yang menafikan nama dan sifat-Nya adalah musuh sejati para rasul. Bahkan akar seluruh kesyirikan adalah tindakan ta’thil, karena jika tidak dilatarbelakangi oleh ta’thil terhadap kesempurnaaan zat dan sifat-Nya serta buruk sangka terhadap-Nya, tentulah Allah tidak akan disekutukan.” Madaarijus Saalikin, 3/347. Berikut beberapa bentuk ilhad kriminalitas terhadap Allah yang terkait dengan nama dan sifat-Nya, kami sajikan secara ringkas kepada anda dikarenakan keterbatasan ilmu kami. Pertama, menyerupakan menganalogikan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya atau yang dikenal dengan istilah tamtsil atau tasybih. Ketika Allah ta’ala menetapkan diri-Nya memiliki wajah dan tangan, orang yang melakukan tamtsil mengatakan wajah dan tangan Allah tersebut seperti wajah dan tangan kita. Hal ini didustakan oleh Allah dalam firman-Nya yang artinya, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” QS. Asy Syuura 11. “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah yang kamu serupakan dengan-Nya.” QS. An Nahl 74. Penganalogian sifat Allah dengan makhluk-Nya merupakan aib, karena Allah, Zat yang Mahasempurna diserupakan dengan makhluk yang penuh dengan kekurangan. Kedua, menolak nama dan sifat Allah, baik menolak seluruhnya atau sebagiannya. Termasuk bentuk penolakan nama dan sifat-Nya adalah menyelewengkan makna nama dan sifat-Nya seperti memaknai sifat cinta yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya sendiri dengan arti iradatul lit tatswib keinginan untuk memberi pahala. Orang yang menafikan nama dan sifat-Nya beralasan jika kita menetapkan nama dan sifat bagi Allah, maka hal ini akan berkonsekuensi menyerupakan-Nya dengan makhluk karena makhluk pun memiliki cinta. Hal ini tidak tepat dengan alasan bahwa Allah ta’ala telah menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan di sisi lain Dia menetapkan bahwa Dia memiliki sifat. Lihatlah surat Asy Syuura ayat 11 di atas! Allah ta’ala menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, namun Dia juga menetapkan bahwa Dia memiliki sifat mendengar dan melihat yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya. Penetapan sifat bagi Allah meskipun memiliki nama yang sama dengan sifat makhluk tidak berkonsekuensi menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Perhatikan kembali perkataan Nu’aim bin Hammad Al Khaza’i, guru imam Al Bukhari Jilani yang dibawakan oleh imam Ibnu Katsir atau kaidah yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jilani di atas! Demikian pula, alasan di atas dapat dibantah secara logika bahwa kesamaan nama suatu sifat tidak berkonsekuensi adanya kesamaan hakikat sifat tersebut. Contoh praktisnya, makhluk memiliki pendengaran dan penglihatan, apakah pendengaran dan penglihatan mereka antara satu dengan yang lain memiliki hakikat dan bentuk yang sama?! Tentulah kita akan menjawab tidak. Ketika Dia menetapkan sifat mendengar, melihat atau cinta bagi diri-Nya, maka meskipun sifat tersebut juga dimiliki oleh makhluk tentu hakikat sifat tersebut tidaklah sama dengan sifat makhluk-Nya. Sifat yang Dia tetapkan bagi diri-Nya sendiri adalah sifat yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya, tidak seperti sifat yang dimiliki oleh makhluk yang dipenuhi kekurangan. Ketiga, menetapkan suatu kaifiyah bentuk/cara bagi sifat Allah ta’ala. Hal ini dinamakan dengan takyif dan termasuk ke dalam bentuk ini adalah mempertanyakan hakikat dan kaifiyah sifat Allah ta’ala. Contoh praktisnya semisal perkataan, “Tangan Allah itu panjang dan besarnya sekian”. Hal ini salah satu bentuk kelancangan terhadap-Nya karena berkata-kata mengenai Allah ta’ala tanpa dilandasi dengan ilmu. Ketika hakikat dan bentuk Zat Allah saja tidak kita ketahui, maka bagaimana bisa kita lancang menetapkan sifat Allah bentuknya begini dan begitu?! Oleh karena itu, ketika Imam Malik dan gurunya, Rabi’ah ditanya mengenai hakikat sifat istiwa bersemayam Allah oleh seseorang, mereka mengatakan, “Istiwa diketahui maknanya, namun hakikatnya tidak dapat dinalar dijangkau oleh logika. Beriman kepadanya wajib dan bertanya mengenai hakikatnya adalah bid’ah.” [Lihat perkataan beliau ini dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 3/398; Itsbat Shifatil Uluw hal. 119 dan Dzammut Takwil hal. 13 dan Lum’atul I’tiqad hal. 64 karya Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi; Idlohud Dalil fii Qath’i Hujaji Ahlit Ta’thil hal. 14 Muhammad bin Ibrahim bin Sa’ad bin Jama’ah; Al I’tiqad hal. 116 Ibnul Husain Al Baihaqi; Al Ulum li Aliyyil Ghaffar hal. 129 Adz Dzahabi. Urgensi dan Kesalahan dalam Ma’rifatullah Berbagai tindakan di atas merupakan perbuatan yang akan menghalangi seorang hamba untuk mengenal Zat yang harus dia cintai. Berbagai tindakan tersebut akan membuat seorang mengenal Rabb-nya dengan bentuk pengenalan yang keliru atau bahkan menghantarkan seorang hamba menjadi pribadi yang tidak mengenal Allah karena dirinya tidak mengenal sifat Zat yang dia cintai. Kita tutup pembahasan kita ini dengan perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah yang menunjukkan pentingnya memahami permasalahan nama dan sifat Allah ta’ala karena sangat terkait dengan ma’rifatullah pengenalan terhadap Allah. Beliau mengatakan, “Mengimani dan mengetahui berbagai sifat-Nya, menetapkan hakikat makna bagi sifat tersebut, keterkaitan hati dengannya serta menyaksikan pengaruh sifat tersebut merupakan jalan awal, pertengahan dan tertinggi untuk mengenal-Nya. Hal ini merupakan ruh bagi para saalikin orang-orang yang berjalan menuju Allah, kendaraan yang akan menghantarkan mereka, penggerak tekad ketika malas dan penggugah semangat ketika tidak maksimal dalam beribadah. Perjalanan mereka menuju Allah bergantung pada bekal-bekal yang akan menopang perjalanan mereka. Setiap orang yang tidak berbekal, maka pasti dia tidak mampu menempuh perjalanan. Dan ketahuilah bekal terbaik adalah pengetahuan terhadap sifat Zat yang dicintai dan itulah puncak keinginan mereka.” Madaarijus Saalikin, 3/350. Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya berbagai sifat Allah yang sempurna dan digunakan untuk berdo’a kepada-Nya serta hakikat berbagai nama-Nya adalah faktor pendorong hati seorang untuk mencintai Allah dan sampai kepada-Nya. Hal ini dikarenakan hati hanya akan mencintai orang yang dikenalnya, takut, berharap, rindu, merasa senang dan tenteram ketika menyebut namanya sesuai dengan kadar ma’rifah pengenalan hati terhadap sifatnya.” Madaarijus Saalikin, 3/351. Demikianlah pembahasan kita kali ini, besar harapan kami uraian ini dapat bermanfaat bagi diri penulis dan orang yang membacanya. Wa shallallahu ala Muhammadin wa ala alihi wa shahbihi wa sallam. [Muhammad Nur Ichwan Muslim]
sebagiandari tafsir yang bercorak sufi. Maka muncullah pertanyaan apakah corak penafsiran dari kitab Marad ini dan bagaimana penafsirannya terkait ayat-ayat tentang ma'rifatullah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui corak penafsiran tasawuf dalam tafsir Marad dan bagaimana penafsiran Syekh Nawawi dalam

Ilustrasi Apa itu Marifatullah. Foto. dok. Faseeh Fawaz Islam kita sering kali menemukan istilah marifatullah, bukan? Istilah ini rupanya banyak disebut dalam berbagai kajian keagamaan, khususnya agama Islam. Untuk memahaminya dengan benar, mari kita simak pengertian apa itu marifatullah secara lengkap dalam artikel Marifatullah dalam Islam Lengkap dengan Cara MencapainyaSetiap umat Muslim yang gemar mendatangi kajian agama Islam dalam berbagai majelis taklim tentunya sudah tak asing dengan istilah marifatullah. Istilah marifatullah yang dapat diartikan sebagai mengenal Allah ini rupanya juga cukup populer di kalangan umat Muslim secara umum. Istilah marifatullah yang berasal dari kata a'rofa, ya'rifu yang berarti mengenal. Ma'rifatullah juga dapat diartikan sebagai adalah upaya manusia untuk mengenal Allah lebih jauh sehingga membuat kadar keimanan dan ketaqwaan seorang Muslimin atau Muslimah menjadi lebih lengkap pemaparan mengenai Arti Ma'rifatullah dijelaskan dalam buku berjudul Mendaki Tangga Ma’rifat Menggali Potensi Indra Keenam, Meraih Misteri Karomah yang disusun oleh Syekh Ibnu Jabr ar-Rummi 2020 23.Ilustrasi Apa itu Marifatullah. Foto. dok. Rachid Oucharia buku tersebut dibahas bahwa ma'rifatullah dapat diartikan sebagai mengenal Allah. Lebih lengkap, dalam buku tersebut juga memaparkan bahwa ma'rifatullah artinya mengenal Allah. Ma'rifat dari akar kata 'arif yang artinya tahu atau mengenal. Bahkan istilah marifatullah juga cukup identik dengan kesempurnaan iman dan takwa kepada sebuah ayat Alquran menjelaskan bahwa seorang yang telah mencapai tahap marifatullah maka akan memiliki ketakwaan yang tinggi. Ayat tersebut berbunyiإِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُArtinya Sesungguhnya yang takut kepada Allâh diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu mengenal Allâh Azza wa Jalla ” QS. Fathir 28.Untuk dapat mencapai tahap marifatullah, seorang Muslim perlu mengenal Allah dengan berbagai cara. Dalam buku berjudul Desain Pendidikan Karakter yang disusun oleh Dr. Zubaedi, 2015 130 yang memaparkan bahwa pengenalan akan eksistensi manusia adalah merupakan suatu jalan untuk menuju pengetahuan akan hakikat Apa itu Marifatullah. Foto. dok. afiq fatah untuk sampai pada ma'rifatullah, maka terlebih dahulu seseorang harus mengenal hakikat dirinya sendiri. Itulah sebuah jalan yang pertama-tama harus dilalui. Seorang hamba yang telah mencapai tahap ma'rifatullah akan memiliki ketakwaan dan keimanan yang tinggi kepada Allah dapat diraih dengan berbagai cara. Mulai dari mengenal nama-nama baik Allah atau Asmaul Husna, mempelajari sifat-sifat wajib dan mustahil Allah, bahkan mengenal bentuk-bentuk makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Dengan begitu, kita akan semakin sadar betapa besar kekuasaan Allah terhadap seluruh makhluk di muka bumi dia penjelasan lengkap mengenai apa itu marifatullah lengkap dengan cara meraihnya dapat Anda terapkan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan diri sehingga kita menjadi hamba Allah yang selalu dirahmati dan diridhoi Allah. DAP

Sebelumnya degan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Salam untuk segenap kaskuser terutama yang berdomisili di FS ini, terima kasih kepada para om moderator buat approvednya. Thread ini dibuat tidak lain mengulas kembali tentang awal kewajiban setiap manusia, terutama untuk kaskuser yang belum mengetahuinya dan membutuhkannya. Dan untuk kaskuser yang ingin memulai dalam thread ini, - Istilah ma'rifatullah mungkin masih terasa asing bagi sebagian orang, namun istilah ini sebenarnya sudah umum digunakan oleh umat muslim, khususnya bagi mereka yang sering menghadiri majelis bisa diartikan sebagai mengenal Allah, yang bila kata ini disebut maka itu berhubungan dengan Rabb, Sang Ma'rifatullah Dilansir dari portal resmi Provinsi Sumatera Barat yang mengutip perkataan Ibnul Qoyyum disebutkan, seseorang yang memiliki ketaatan yang tinggi, akan semakin tinggi pula ma'rifatnya kepada Allah, ia akan semakin menghambakan diri dan bersifat ma'rifatullah sendiri berasal kata a'rofa, ya'rifu yang artinya mengenal. Jadi dapat disimpulkan bahwa ma'rifatullah merupakan upaya manusia untuk lebih mengenal Allah dengan tujuan meningkatkan iman dan e-modul berjudul Ma'rifatullah dari Endis Firdaus dituliskan, seorang muslim perlu menyempurnakan keimanannya dengan menjadikan ma'rifatullah sebagai subjek ma'rifatullah juga bisa berarti sebagai jalan yang mengantarkan manusia untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Allah Allah SWT atau ma'rifatullah dapat dilakukan dengan cara mengetahui nama-nama-Nya yang Maha Indah melalui Asmaul Husna dan memahami maknanya. Kemudian seorang muslim berma'rifat dengan mengetahui sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna seperti yang dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis sahih dari Rasulullah Salallaahu alaihi wa surah Al-Baqarah ayat 255 atau dikenal dengan ayat kursi dijelaskan bahwa Allah, Tuhan yang patut disembah dan tidak ada sembahan lainnya selain Dia. Allah Mahahidup, Maha Kekal, dan memiliki semua makna kehidupan yang sempurna, Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya. Tidak seperti manusia, Allah tidak mengantuk dan tidak pula tidur, sebab keduanya adalah sifat kekurangan yang membuat-Nya tidak mampu mengurus makhluk-Nya. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dia Yang menciptakan, memelihara, memiliki, dan bertindak terhadap semua itu. Allah Maha Mengetahui apa yang ada di hadapan makhluk ciptaan-Nya; manusia, yakni apa saja yang sedang dan akan terjadi, dan apa yang di belakang mereka, yakni sesuatu yang telah berlalu. Allah mengetahui apa yang mereka lakukan dan rencanakan, baik yang berkaitan dengan masa kini, masa lampau, atau masa depan. Kursi-Nya, Allah yaitu kekuasaan, ilmu, atau kursi tempat kedua kaki Tuhan yang tidak diketahui hakikatnya kecuali oleh Allah berpijak, sangat luas, meliputi langit dan bumi. Allah Mahatinggi zat dan sifat-sifat-Nya jika dibanding makhluk-makhlukNya, Mahabesar dengan segala keagungan dan kekuasaan-Nya. Ayat Kursi merupakan ayat teragung dalam Al-Qur'an karena mencakup nama-nama dan sifat-sifat Allah yang menunjukkan kesempurnaan zat, ilmu, kekuasaan, dan bacaan lengkap Ayat Kursi dan artinyaاللّٰهُ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ الۡحَـىُّ الۡقَيُّوۡمُۚ لَا تَاۡخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوۡمٌ‌ؕ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الۡاَرۡضِ‌ؕ مَنۡ ذَا الَّذِىۡ يَشۡفَعُ عِنۡدَهٗۤ اِلَّا بِاِذۡنِهٖ‌ؕ يَعۡلَمُ مَا بَيۡنَ اَيۡدِيۡهِمۡ وَمَا خَلۡفَهُمۡ‌ۚ وَلَا يُحِيۡطُوۡنَ بِشَىۡءٍ مِّنۡ عِلۡمِهٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ كُرۡسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضَ‌‌ۚ وَلَا يَـــُٔوۡدُهٗ حِفۡظُهُمَا ‌ۚ وَ هُوَ الۡعَلِىُّ الۡعَظِيۡمُ Allahu laaa ilaaha illaa Huwal Haiyul Qaiyuum; laa taakhuzuhuu sinatunw wa laa nawm; lahuu maa fissamaawaati wa maa fil ard; man zal lazii yashfa'u indahuuu illaa bi-iznih; ya'lamu maa baina aydiihim wa mww khalfahum wa laa yuhiituuna bishai'im min 'ilmihi illa bimasya' wa si'a kursiyyuhussamawati wal ardh walaa yauduhu khifzuhuma wa huwal 'aliyyul 'azhiim. Artinya "Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar." QS. Al-Baqarah 255.Ma'rifatullah dapat diraih dengan berbagai cara, mulai dari mengenal Asmaul Husna hingga memahami segala bentuk makhluk ciptaan Allah SWT. Dengan ber-ma'rifatullah, maka seorang muslim dapat menyadari tentang betapa besarnya kekuasaan Allah terhadap seluruh makhluk yang terdapat di bumi dan alam semesta ini. Baca juga Khutbah Jumat Singkat Bersabar dan Berserah Diri Kepada Allah SWT Rangkuman Materi Mutiara Iman dan Ibadah Kepada Allah SWT Apa Ciri-ciri Amal Ibadah yang Diterima Allah SWT? - Sosial Budaya Penulis Dhita KoesnoEditor Addi M Idhom
Linguisticsmenjelaskan gambaran dan keterangan bahasa dan bukan terciri dengan peraturan-peraturan, petunjuk dari bahasa. Bukan sedikit kata yang banyak. Linguistik tidak memerlukan untuk mengetahui banyak bahasa-bahasa dan Linguistics bukan menterjemahkan. Ada beberapa cabang linguistic, yaitu; Phonetic, phonology, morphology, syntax
ma 'rifatullah artinya1. ma 'rifatullah artinya2. aksara jawa devita rifatul sukma bagaimana cara penulisannya 3. Tolong aku, ma,ma,ma,Martin!!kata kamu bijak coba jawab pertanyaan iniMartin​4. tuliskan kalimat tanya dengan menggunakan kata tanya ma dan jam masing masing 1 kalimat!​5. Buatlah pertanyaan tentang MA berserta jawabannya!6. kata tanya ma dan kam maksudnya​7. Buat 1 contoh pertanyaan dari kata tanya ma8. tuliskan kalimat tanya dengan menggunakan kata tanya ma dan jam masing masing 1 kalimat!​9. Kalimat tanya "ma" dalam bahasa mandarin10. apa jawaban dari pertanyaan ni hao ma?11. apakah jawaban untuk ta men hao ma {pertanyaan}​12. Apa perbedaan antara Ma dengan Man dan mengapa pertanyaan Siapa namamu kata tanya yang digunakan adalah Mak bukan Man​13. apakah jawaban untuk ni men hao ma {pertanyaan}​14. Buatlah 5 pertanyaan tentang MA15. Ma da takmalu jawablah pertanyaan berikut16. mo tanya ngab24 ma 25 yh​17. Membuat pertanyaan tentang mahkamah agung MA yang sulit 18. Buat 1 pertanyaan tentang Mpr Dpd Ma Ky19. buat kalimat tanya dengan kata tanya ma dan kam tolong bantu ya​20. Membuat pertanyaan tentang mahkamah agung MA yang sulit 1. ma 'rifatullah artinya Mengenal Allah, yakni mengenal keagungannya, kebaikannya dllmengenal sifat sifat zat Allah SWT 2. aksara jawa devita rifatul sukma bagaimana cara penulisannya Karena disini tidak ada notasi aksara, semoga anda sudah tau huruf Anacaraka Jawa. jadi penulisannya sbbde-pi-ta ri-pa-tu-ladiisipenutup seperti kurung dalam aksara su-ka ma ditulis di bawah ka 3. Tolong aku, ma,ma,ma,Martin!!kata kamu bijak coba jawab pertanyaan iniMartin​JawabanSaya bukan Martin bang yg Martin di YouTube vernalta 4. tuliskan kalimat tanya dengan menggunakan kata tanya ma dan jam masing masing 1 kalimat!​Jawaban1 .kapan jam ini rusak yang dimaksud ma .? 5. Buatlah pertanyaan tentang MA berserta jawabannya! Apa tugas dan wewenang MA? 6. kata tanya ma dan kam maksudnya​JawabanmaapaKamberapaPenjelasansemoga bermanfaatJawabanma,berarti menanyakan sesuatu yang terjadi ma = apa kam , berarti menanyakan jumlah sesuatukam = berapaini dalam bahasa arab pelajaran b. arab Penjelasan SEMOGA MEMBANTU YAA STAY AT HOME 7. Buat 1 contoh pertanyaan dari kata tanya maJawabanمَاذَا تَفْعَلُ في اليَوم؟Penjelasanterdapat penggunaan fi'il mudhari pada kalimat "تَفْعَلُ"semoga membantu 8. tuliskan kalimat tanya dengan menggunakan kata tanya ma dan jam masing masing 1 kalimat!​JawabanJam . alarm jam itu berbunyi ?. apa itu tanda tanya ma?Penjelasansemoga mmbbtu. 9. Kalimat tanya "ma" dalam bahasa mandarin tingal kalo tanya ma sekalian mama ma digunakan biasa untuk kalimat tanya...你吃好了吗 ?Apakah kamu sudah makan? 10. apa jawaban dari pertanyaan ni hao ma? Wo hen hao. Xie xie artinya Saya baik, terima kasihartinya saya baik 11. apakah jawaban untuk ta men hao ma {pertanyaan}​bisa dijawab ta men hao atau ta men hen haodua-duanya bisa terserah suka yang manaJawabanTamen haoPenjelasantamen hao atau 他们好 berarti mereka baik baik saja, kita bertanya 他们好吗 apakah mereka baik baik saja jadi kita menjawab mereka baik baik saja他 artinya dia他们 artinya mereka好 artinya baikbisa untuk kata sapaan吗 artinya apakahdi dalam huruf mandarin huruf 吗 harus terletak di ujung kalimatAnswer by boboiboy 12. Apa perbedaan antara Ma dengan Man dan mengapa pertanyaan Siapa namamu kata tanya yang digunakan adalah Mak bukan Man​Jawabanma Memiliki arti apakahman memiliki arti siapakahsetau saya pertanyaan siapa namamu tidak menggunakan kata ma, tapi menggunakan kata kalo salah, jangan lupa follow 13. apakah jawaban untuk ni men hao ma {pertanyaan}​Jawaban 你们好吗?Pinyin Nǐ mén hǎo maArti Apa kabar kalian Jawabanuntuk你们好吗ada2我们很好Pinyin Wǒ mén hěn hǎoArti kita baik baik 我们不好Pinyin Wǒ mén bù hǎoArti kita tidak baik Pelajari Lebih Lanjut Menerjemahkan ke Bahasa Indonesia Pasif Dalam Bahasa Mandarin Dari 去 Kalimat Jawaban Mapel Bahasa Mandarin Materi Hanyu Kata Kunci Jawaban untuk "你们好吗?"Kode Mapel 16 14. Buatlah 5 pertanyaan tentang MA MA bertugas untuk........Berapakah jumlah anggota MA saat ini.....MA itu singkatan dari apa?apa tugas MA?siapa kepala MA?anggotanya ada berapa?dimana pusat MA? 15. Ma da takmalu jawablah pertanyaan berikutJawabanada mak tamuPenjelasankamu mamak kamu 16. mo tanya ngab24 ma 25 yh​Jawaban abad ke-20, tepatnya antara tahun 1910-1920, perkembangan TIK teknologi informasi dan komunikasi ditandai dengan sebuah transmisi suara tanpa kabel melalui siaran radio AM yang pertama. ... Perangkat telekomunikasi berkembang pesat saat teknologi digital mulai digunakan menggantikan teknologi analog. menggunakan transistor sebagai penguat dibuat dengan bahasa tingkat tinggi seperti FORTRAN dan memori sudah cukup besar dengan pengembangan magnetic core simpanan luar magnetic tape dan magnetic disk yang berbentuk removable kemampuan proses real time dan time listrik yang dibutuhkan lebih tidak hanya aplikasi bisnis tapi juga pada aplikasi komputer generasi keduaIBM 1401IBM membantu ya 17. Membuat pertanyaan tentang mahkamah agung MA yang sulit Pertanyaan tentang Mahkamah Agung MA yang sulit1. Kasus apa saja yang memang harus diselesaikan melalui Mahkamah Agung?2. Sebutkan wewenang yang ditanggungjawabkan oleh Mahkamah Agung!3. Sebutkan dasar hukum yang melandaskan diperlukannya Mahkamah Agung!4. Apakah keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung bersifat inkrah sudah mutlak?PembahasanDefinisi Mahkamah AgungMahkamah Agung MA adalah sebuah lembaga negara yang diberikan kewenangan khusus untuk kekuasaan kehakiman yudikatif yang sifatnya tidak dapat dicampuri oleh pihak soal dan jawaban1. Kasus apa saja yang memang harus diselesaikan melalui Mahkamah Agung?Jawab Adapun kasus yang ditangani oleh Mahkamah Agung sebagai berikut yaitu,• Pengajuan kasasi pembatalan keputusan pengadilan lain terhadap vonis yang telah dijatuhkan kepada pihak penggugat atau tergugat.• Memutuskan hasil perkara terhadap kejahatan luar biasa seperti pemerkosaan, narkoba, terorisme, dan korupsi.• Menangani perkara kepailitan yang dialami suatu perusahaan atau Sebutkan wewenang yang ditanggungjawabkan oleh Mahkamah Agung!Jawab Wewenang MA sebagai berikut yaitu,• Memutuskan permohonan kasasi tingkat banding yang terakhir.• Memeriksa dan memutuskan sengketa tentang kewenangan mengadili.• Meninjau kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum inkrah atau tetap.• Menguji peraturan perundangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.• Mempunyai wewenang lain yang sebagaimana telah ditetapkan oleh dasar hukum yang melandaskan diperlukannya Mahkamah Agung!Jawab Dasar hukum tercantum pada Pasal 24 ayat 1-2 dan Pasal 24A UUD Negara Republik Indonesia tahun Pasal 24 ayat 1 dan 21 "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan"2 "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi"Bunyi pasal 24A1 "Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang"2 "Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum"3 "Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden"4 "Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung"5 "Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang"4. Apakah keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung bersifat inkrah sudah mutlak?Jawab Iya, keputusan Mahkamah Agung tidak lagi dapat diubah, akhir dari segala keputusan pengadilan sebelumnya, bersifat mengikat dan hukum tetap atau mutlak. Namun, pihak penggugat atau tergugat masih diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan PK Peninjauan Kembali terhadap putusan lebih lanjut• Sebutkan tugas dan wewenang Mahkamah Agung? Fungsi pengadilan tinggi dan mahkamah agung bagi rakyat Perbedaan dan persamaan MA dan MK jawabanMapel PPKN Kelas X SMABab 2 Materi Sistem hukum dan peradilan nasionalKode Kategorisasi Kunci Mahkamah agung, lembaga yudikatif, pengadilan, kasasi, hakim, contoh soal Mahkamah AgungTingkatkanPrestasimu 18. Buat 1 pertanyaan tentang Mpr Dpd Ma Ky 1. apa saja tugas MPR?2. apa kepanjangan DPD?3. lembaga apakah MA itu?4. pada tahun berapa KY dibentuk? 19. buat kalimat tanya dengan kata tanya ma dan kam tolong bantu ya​Jawaban١. ما اسمك ؟siapa namamu?٢. كم الساعة الآن ؟jam berapa sekarang?Penjelasansemoga membantu 20. Membuat pertanyaan tentang mahkamah agung MA yang sulit MK,KY,Presiden,DPD,MPR,DPR termasuk dalam?
Sayamemiliki sedikit cerita tentang hal ini. Kebetulan, semenjak saya masih duduk di bangku playgroup hingga saya SMP kelas 2, saya mengenyam pendidikan di sekolah berbasis Islam. Percaya atau tidak, selama menempuh pendidikan disana saya benar-benar tidak pernah diajarkan bahwa Islam itu memiliki banyak cabang.
Mengenal Allah yang biasa disebut dengan ma’rifatullah berasal dari kata ma’rifah dan Allah. Ma’rifah berarti mengetahui, mengenal. Mengenal Allah bukan melalui dzat Allah tetapi mengenal-Nya lewat tanda-tanda kebesaran-Nya ayat-ayat-Nya. Mengenal Allah merupakan tahapan penting perjalanan diri manusia. Ma’rifatullah bukanlah mengenal dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenal sesuatu yang tidak terbatas. Menurut Ibnu al-Qayyim, ma’rifatullah yang dimaksudkan adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya. Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun dimaknai juga sebagai pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan ketika sahabat Rasulullah, Abu Bakar As-Shiddiq ditanya mengenai ma’rifat yang ada pada dirinya, ia berkata, “Sangat mustahil ma’rifat datang bukan karena ma’unah Allah”. Ia mengatakan bahwa ma’rifat tidak akan ditemukan pada panca indera manusia, tidak ada ukuran. Ma’rifat itu dekat tetapi jauh, jauh tetapi dekat. Tidak dapat diucapkan dan dinyatakan. Di bawahnya ada sesuatu Dialah Allah dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, tiada sesuatu yang dapat menyamai-Nya. Dialah dzat yang suci Allah Azza Wajalla. Sarana Ma’rifatullah 1 Akal Sehat Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk ciptaan terhadap pengenalan al-Khaliq pencipta seperti firman Allah yang artinya “Katakanlah, perhatikan apa yang ada di langit dan di bumi! Tidaklah bermanfaat tanda-tanda kebesaran Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang yang tidak beriman. Yunus 101. Dan sabda Nabi Muhammad saw “Berpikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berpikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampu. Abu Nu’aim. 2 Para Rasul Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenal Allah. 3 Asma dan Sifat Allah Mengenali asma nama dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Manfaat Mengenal Allah Sungguh pun al-Quran berbicara tentang masalah akidah dan tauhid seperti halnya mengenal Allah, namun al-Quran bukanlah ilmu aqa’id atau ilmu tauhid, karena masalah-masalah akidah dan tauhid tidak disusun secara sistematik sebagaimana halnya sebuah ilmu. Hal yang demikian sengaja dilakukan agar manusia bebas untuk mengembangkan nalarnya dalam mengenal Tuhan, dan al-Quran dengan caranya yang demikian itu, bahwa yang terpenting adalah bagaimana pengaruh dari mengenal Tuhan itu terhadap tumbuhnya akhlak yang mulia, moralitas yang tinggi, amal shaleh, dan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat dan terhadap Tuhan. Hal ini sejalan dengan prinsip ajaran Islam yang menjunjung tinggi aspek moralitas dan amal shaleh. Pertama-tama kita beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Iman itu melahirkan tata nilai berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa rabbaniyah, yaitu tata nilai yang wajib dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan Inna Lillahi Wa inna Ilaihi Raji’un, Sesunggnnuhnya kita berasal dari Tuhan dan kita akan kembali kepada-Nya. Tuhan adalah pencipta semua wujud yang lahir dan batin, dan Dia telah menciptakan manusia sebagai puncak ciptaan, untuk menjadi khalifah-Nya di bumi. Karena itu, manusia harus berbuat sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan kepada-Nya, baik di dunia ini, maupun khususnya, kelak dalam pengadilan Ilahi di akhirat. Orang muslim berpandangan bahwa demi kesejahteraan dan keselamatan mereka sendiri di dunia dan di akhirat, mereka harus bersikap pasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berbuat baik kepada sesama manusia. Sikap berserah diri kepada Tuhan berislam mengandung beberapa konsekuensi. Cara Berma’rifat Untuk berma’rifat kepada Allah Swt mempunyai dua cara yaitu Pertama, dengan menggunakan akal pikiran dan memeriksa secara teliti ciptaan Allah yang berupa benda-benda yang beraneka ragam ini. Kedua, dengan mengetahui nama-nama Allah serta sifat-sifat-Nya. Dengan optimalisasi peran akal pikiran dan mema’rifati nama-nama serta sifat-sifat Allah, maka seseorang akan dapat berma’rifat kepada Tuhan dan ia akan memproleh petunjuk ke arah itu. Pandangan Ulama Tentang Ma’rifat Al-Muhasibi ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang didasarkan pada kitab dan sunnah. Al-Muhasibi juga menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut Taat; awal dari kecintaan kepada Allah, menurut Al-Muhasibi tampak dari ketaatan. Taat tiada lain adalah wujud konkrit kecintaan seorang hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekadar ungkapan kecintaan semata lewat lisan. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengalaman merupakan kepalsuan semata. Di antara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Sinar ini kemudian melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya. Pada tahap berikutnya, Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah. Terakhir, sampailah pada tahapan, sebagaimana yang dikatakan oleh kaum sufi dengan fana yang menyebabkan baqa. Dzun nun Al-Mishri Sesungguhnya ma’rifah yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan Tuhan sebagaimana yang telah dipercayai oleh orang-orang mukmin. Ia juga bukan ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin ahli balaghah. Akan tetapi, ia adalah al-ma’rifah kepada keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya, maka terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hambanya yang lain. Al-ma’rifah yang ia pahami adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya ma’rifah yang murni, seperti matahari tak dapat dilihat kecuali dengan cahaya. Kedekatan hamba kepada Sang Rahman menafikan dirinya sendiri. Lebur fana dalam kekuasaannya, berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, melihat dengan penglihatan Allah, dan berbuat dengan pebuatan Allah. Imam Al-Ghazali ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Allah tentang segala yang ada. Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama dan orang sufi. Oleh karena itu, ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa si fulan ada di dalam rumah, dengan mengikuti perkataan seorang bahwa si fulan berada di rumah tanpa menyelidiki lagi. Bagi para ulama keyakinan adalah ibarat si fulan di rumah, dibangun atas dasar ada tanda-tandanya seperti ada suara si fulan walaupun tidak kelihatan orangnya. Sementara orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya melalui suara di balik dinding, lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya, bahwa si fulan benar-benar berada di rumah. Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si fulan berada di rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya, ma’rifat menurut al-Ghazali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat para ulama, tetapi ma’rifat sufi dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyif ilahi. Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawash aulia tanpa melalui perantara langsung dari Allah, sebagaimana ilmu kenabian yang langsung diperoleh dari Allah, walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat allah, sedangkan para wali mendapatkan ilmu dari ilham. Meskipun demikian, kedua-duanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah. _ _ _ _ _ _ _ _ _ Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂 Silakan bagi share ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat! Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Baca panduannya di sini! Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook di sini! [zombify_post]

Marifatullah (Mengenal Allah swt) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas susu yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang telah membuatnya menjadi segelas susu.

ArticlePDF Available AbstractMa’rifatullah knowing Allah is a foundation of Islamic teaching because it is a vital part of Muslim’s faithful. Other Teachings of Islam stand on it, because without the strong foundation such as knowing Allah sturdily, perhaps, the someone will not do his obligation, or at least what he is doing doesn’t have any useful for himslef as a pleasant of life nor for another people as a good behave in society. There is a question to be answerd What is the nature of ma’rifatullah? In particular, This question deepens in sufism of Imam al-Ghazali toward Ma’rifatullah. Mentioned here toward Ma’rifatullah, because a Muslim is only able to know Allah as in accordance with his limited ability to Allah, who is unlimited. According to al-Ghazali, Ma’rifatullah means convincing “knowledge”. It happens if the object is uncovered clearly without any hesitations. It means revealed of the secrets of divinity and all secrets of His creations. This circumstance cannot be reached by senses of experience and or logical reasoning, but it is purely a gift or divine inspiration from God through nûr which is given to heart. Thus, it opens up all secrets are there behind this reality, which is not able to reach by someone’s sense and mind. The circumstance is called as mukâsyafah. At the time, someone i sable to know Allah through the manifestation of His creation. Imam al-Ghazali had told that ma’rifatullah is “looking at Allah’s face”. Of course, it means looking at the visible manifestation of Allah traits in this universe. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Studia Insania, April 2016, Vol. 4, No. 1 ISSN 2088-6303 MENUJU MA’RIFATULLAH Menyelami Samudera Sufisme Imam al-Ghazali Asmaran As Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari Banjarmasin Diterima tanggal 3 Januari 2016 / Disetujui tanggal 15 Maret 2016 Abstract Ma‟rifatullah knowing Allah is a foundation of Islamic teaching because it is a vital part of Muslim‟s faithful. Other Teachings of Islam stand on it, because without the strong foundation such as knowing Allah sturdily, perhaps, the someone will not do his obligation, or at least what he is doing doesn‟t have any useful for himslef as a pleasant of life nor for another people as a good behave in society. There is a question to be answerd What is the nature of ma‟rifatullah? In particular, This question deepens in sufism of Imam al-Ghazali toward Ma‟rifatullah. Mentioned here toward Ma‟rifatullah, because a Muslim is only able to know Allah as in accordance with his limited ability to Allah, who is unlimited. According to al-Ghazali, Ma‟rifatullah means convincing “knowledge”. It happens if the object is uncovered clearly without any hesitations. It means revealed of the secrets of divinity and all secrets of His creations. This circumstance cannot be reached by senses of experience and or logical reasoning, but it is purely a gift or divine inspiration from God through nûr which is given to heart. Thus, it opens up all secrets are there behind this reality, which is not able to reach by someone‟s sense and mind. The circumstance is called as mukâsyafah. At the time, someone i sable to know Allah through the manifestation of His creation. Imam al-Ghazali had told that ma‟rifatullah is “looking at Allah‟s face”. Of course, it means looking at the visible manifestation of Allah traits in this universe. Kata kunci Sufisme, Ma‟rifah, Nur, Mukasyafah Pendahuluan Abû al-Wafâ‟ al-Ghanîmî al-Taftâzânî mengatakan bahwa orang yang pertama membicarakan soal makrifah ma‟rifah ialah Ma‟rûf al-Karkhî H/815 M. Namun yang paling menonjol karena pembahasannya secara teoretis dan rinci ialah Zû al-Nûn al-Mishrî H/861 M; dan dari dialah kaum sufi sesudahnya sering menimba ataupun menisbahkan teori tersebut. Boleh jadi, karena itulah dia dipandang sebagai bapak paham makrifah Zû al-Nûn al-Misrî, ada tiga macam makrifah, yaitu 1 makrifah orang awam, 2 makrifah para mutakallimin dan filosof, dan 3 makrifah para awliyâ‟ dan muqarrabin. Yang pertama adalah mengenal keesaan Allah dengan perantaraan ucapan syahadat, yang kedua ialah mengenal keesaan Allah dengan sarana logika dan penalaran, dan yang ketiga adalah mengenal keesaan Allah dengan hati sanubari atau makrifah dalam arti pertama dan kedua belum merupakan pengenalan yang hakiki tentang Tuhan. Keduanya disebut ilmu „ilm, bukan makrifah ma‟rifah. Makrifah dalam arti ketigalah yang merupakan pengenalan yang hakiki tentang Tuhan; dan inilah yang disebut makrifah. Makrifah hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan kalbu mereka. Makrifah seperti ini hanya diberikan Abû al-Wafâ al-Taftâzânî, Madkhal ilâ al-Tashawwuf al-Islâmî Cairo Dâr al-Tsaqâfah li al-Thibâ‟ah wa al-Nasyr, 1979, 100. Abû al-Wafâ al-Taftâzânî, Madkhal ilâ al-Tashawwuf al-Islâmî, 100. Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam Jakarta Bulan Bintang, 1973, 76. Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam, 76. Studia Insania Vol. 4, No. 1 Tuhan kepada kaum sufi. Makrifah dimasukkan Tuhan ke dalam kalbu seorang sufi, sehingga kalbunya penuh dengan cahaya. Ketika Zû al-Nûn ditanya bagaimana dia memperoleh makrifah tentang Tuhan, dia mengatakan "Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku dan sekiranya tidak karena Tuhanku, aku tak akan kenal Tuhanku." Hal ini berarti bahwa makrifah bukanlah hasil usaha manusia, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Jadi makrifah adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup hubungan ini „Alî „Abd al-Azîm mengatakan "Kaum sufi sepakat bahwa makrifah yang hakiki hanya didapat melalui hati sanubari yang menerima ilhâm al-bashîrah al-mulhamah, bukan melalui akal ataupun indera." Perlu pula dicatat, Reynold A. Nicholson dalam bukunya The Mystics of Islam dengan tegas mengatakan, bahwa Walau secara umum pengetahuan disebut dengan „ilm, tetapi pengetahuan menurut orang sufi, secara khusus disebut dengan ma„rifah atau irfân. Seperti yang pemah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa secara mendasar ma'rifah berbeda dengan „ilm, sehingga diperlukan kata lain untuk menerjemahkannya. Dan mungkin kita tidak akan sempat mencari padanannya yang sesuai. Ma‟rifah dalam pengertian sufisme adalah 'gnosis' dari teosofi Hellenistik, yaitu pengetahuan langsung tentang Tuhan berdasarkan wahyu atau penyingkapan kasyf. la bukan hasil atau buah dari proses mental, tetapi sepenuhnya tergantung pada kehendak dan karunia Tuhan, yang diberikanNya sebagai rahmatNya kepada mereka yang memang sudah Dia ciptakan dengan kemampuan untuk menerimanya. Inilah seberkas sinar Ilahi yang menyelinap ke dalam kalbu dan menyinari seluruh bagian tubuh dengan sorotan sinamya yang al-Ghazâlî H./1111 M. dengan para sufi sebelumnya, kata al-Taftâdzânî, adalah karena dia telah menjadikan tasawuf sebagai jalan untuk mengenal Allah ma‟rifatullah, yang jelas ciri-ciri dan batas-batasnya. Sebagaimana halnya para sufi sebelumnya, al-Ghazâlî pun memandang makrifah sebagai tujuan akhir yang harus dicapai manusia, yang sekaligus merupakan kesempumaan tertinggi dimana di dalamnya terkandung kebahagiaan yang hakiki. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang metode menuju ma‟rifatullah menurut Imam al-Ghazali ini, berikut perlu diuraikan tentang pengertian makrifah, tingkat-tingkat makrifah dan makrifah sebagai ilmu makâsyafah. Pengertian Makrifah Kata makrifah ma‟rifah berasal dari kata kerja „a-r-f فرع yang berarti mengenal atau mengetahui. Di dalam kitabnya Raudhah al-Thalibîn, al-Ghazâlî mengatakan bahwa makrifah, jika diiihat dari segi bahasanya berarti "ilmu yang tidak menerima keraguan." Atau dalam ungkapan arabnya dikatakan ﻌﻤﻟﺍDalam ungkapan lain, pengertian makrifah yang disebut dengan "ilmu yang tidak menerima keraguan" di dalam kitabnya Al-Munqidz min al-Dhalâl disebutnya dengan "ilmu yang meyakinkan" al-„ilm al-yaqînî. Apa Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam, 76-77. „Ali „Abd al-„Azîm, Falsafah al-Ma‟rifah fî al-Qur‟ân al-Karîm, Cairo al-Hai‟ah al-Âmmah li al-Syu‟ûn wa al-Mathâbi‟ al-Misriyah, 1973, 287. Nicholson, The Mystics of Islam London Routledge and Kegan Paul, 1975, 71. Al-Taftâzânî, Madkhal ilâ al-Tashawwuf al-Islâmî, 71. Ibrâhîm Basyûnî, Nasy‟ah al-Tashawwuf al-Islâmî Cairo Dâr al-Ma‟ârif, 265. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Raudhah al-Thâlibîn wa „Umdah al-Sâlikîn Mesir Matba‟ah al-Sa‟âdah, 1924, 162. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah yang disebut dengan "ilmu yang meyakinkan" itu, al-Ghazâlî mengatakan "sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah tersingkapnya sesuatu dengan jelas sehingga tidak ada lagi ruangan untuk ragu-ragu, tak mungkin salah atau keliru, tak ada di hati tempat untuk itu." Dalam ungkapan arabnya dikatakan Sebagai contoh, selanjutnya dia mengatakan Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih dari tiga dan ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dirubah menjadi ular; dan itu memang terjadi serta kusaksikan sendiri, maka hal itu tidak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga; aku hanya merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal ini samasekali tidak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuanku. Selanjutnya aku tahu bahwa apa pun yang kuketahui, bila tidak seperti itu dan apa pun yang aku yakini bila tidak seyakin itu, maka yang demikian bukanlah "ilmu" yang dapat dipercaya dan tidak ada rasa aman di dalamnya. Dan setiap ilmu yang tidak memberi aman tersebut, bukanlah ilmu yang menurut Dr. Sulaimân Dunyâ, "kebenaran" haqîqah yang dicari al-Ghazâlî untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dalam mengomentari pemyataan yang diberikan al-Ghazâlî tentang "ilmu yang meyakinkan" seperti disebutkan di atas, Abû Bakr „Abd al-Râziq mengatakan Demikianlah ilmu yang meyakinkan menurut batasan yang diberikan dan dimaksud oleh al-Ghazâlî. Inilah ilmu yang dapat memuaskan dan melegakan batinnya, sebab, ia bukanlah ilmu yang diperoleh sebagai warisan dari orang tua, atau taklid kepada seseorang. Sesungguhnya ilmu yang telah mencapai tingkat yakin, sebagaimana contoh yang dia kemukakan, tak dapat digoyahkan oleh siapa pun. Sekiranya di hadapannya ada seseorang yang mampu merubah tongkat menjadi seekor ular, maka hal itu tidaklah berdampak terhadap dirinya, kecuali dia hanya kagum terhadap kemampuan orang tersebut dan dia tidak akan ragu terhadap apa yang dia telah segi istilahnya, makrifah menurut al-Ghazâlî ialah "mengetahui rahasia-rahasia Ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya yang meliputi segala yang maujud." Atau, dengan ungkapan aslinya dikatakan Dari batasan tersebut dapat dikatakan bahwa pengertian makrifah dalam paham al-Ghazâlî tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala ketetapan-ketetapan-Nya untuk semua makhluk, meskipun pada kenyataannya dia lebih banyak membahas pengenalan tentang Tuhan yang memang tujuan utama setiap sufi. Oleh karena itu, dia juga mengatakan bahwa makrifah ialah "memandang kepada wajah Allah Ta'ala." رظنﻟﺍ ىﻟإ هجو  ىﻟاﻌت Perlu diketahui bahwa memperoleh makrifah itu merupakan proses yang bersifat kontinu. Makin banyak seorang sufi memperoleh makrifah dari Tuhan makin banyak yang diketahuinya tentang rahasia-Abû Hamîd al-Ghazâlî, Al-Munqidz min al-Dhalâl Turkey Hakikat Kitabavi, 1981, 4. Abû Hamîd al-Ghazâlî, al-Munqidz min al-Dhalâl, 4-5. Sulaimân Dunyâ, “Al-Ghazâlî Yabhats „an al-Ma‟rifah,” dalam al-Ghazâlî, Mîzân al-„Amal Mesir Dâr al-Ma‟ârif, 1964, 14. Abû Bakr „Abd al-Râziq, Ma‟a al-Ghazâlî fî Munqidzihi min al-Dhalâl Cairo Al-Dâr al-Qaumiyah, 78-79. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, IV Dâr al-Fikr, Beirut, 302. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, IV, 299. Studia Insania Vol. 4, No. 1 rahasia Tuhan, dan dia pun makin dekat kepada Tuhan. Tetapi memperoleh makrifah yang sempuma tentang Tuhan tidaklah mungkin karena manusia bersifat terbatas finite, sedang Tuhan bersifat tidak terbatas infinite, sebagaimana diterangkan al-Ghazâlî dalam karyanya Fî Bayâni Ma'rifatillâhsebagai berikut Bagaimana seorang manusia ingin mengenal Allah Ta‟ala dalam arti yang sesungguhnya, sedang terhadap dirinya sendiri dia tidak mampu mengenalnya dengan sempuma? Dalam banyak hal orang hanya dapat mengenal aktivitas-aktivitas dan sifat-sifatnya, tapi tidak mampu mengenal substansinya yang sebenamya. Bahkan manusia tidak mampu mengenal hakikat dan sifat-sifat semut atau binatang apa saja dengan pengenalan yang menyeluruh dan sempuma. Paling-paling dia hanya mampu mengenal segi-segi lahiriahnya saja, baik bentuk, wama, susunan anggota maupun perbedaannya dengan yang lain. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan hakikat semut yang membedakannya dengan binatang lainnya, baik susunan anggota maupun sifat-sifatnya, tak ada yang mampu dalam kitabnya Iljâm al-„Awâm „an „Ilm al-Kalâm Imam al-Ghazâlî mengatakan Dapat kami katakan masih amat jauh, bahwa orang-orang „arif al-„ârifîn itu ialah mereka mengenal Allah SWT. dengan sempuma tanpa terlindung sedikit pun. Sesungguhnya kami telah menjelaskan dengan bukti-bukti yang qath‟î dalam kitab Al-Maqshad al-Aqshâ fî Asmâ'i al-Lâh al-Husnâ bahwa seseorang' tidak akan dapat mengenal hakikat Allah kecuali Allah sendiri. Bagaimanapun luasnya pengetahuan makhluk manusia dan banyaknya ilmu yang mereka miliki, jika dibandingkan dengan ilmu Allah SWT, maka sesungguhnya mereka itu tidaklah diberi ilmu kecuali sedikit. Namun yang penting hendaklah diketahui bahwa keberadaan Tuhan al hadrah al-ilahiyah meliputi segala sesuatu yang ada dalam wujud ini. Karena itu, hanya Allah dan perbuatan-perbuatanNya yang sebenamya ada dalam wujud ini, semuanya adalah bukti kebenaran itu, kata al-Ghazâlî, suatu hal yang tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal hakikat zat Allah SWT. Maka bagi seorang arif yang berkata bahwa dia tidak mampu mengenal-Nya berarti bahwa dia telah kenal padaNya. Inilah batas kesanggupan yang dimiliki manusia untuk mengenal Allah SWT."Karena itulah, baik di dalam al-Qur'an maupun Hadis, kita hanya diperintahkan untuk memperhatikan dan merenungkan kejadian makhluk, ciptaan Allah; sama sekali tidak ada perintah untuk memikirkan zat penciptanya, Allah SWT. Sesungguhnya, tersingkapnya rahasia-rahasia ketuhanan dan ketetapan-ketetapan tuhan terhadap segala sesuatu merupakan kenikmatan, kebahagiaan dan keistimewaan yang paling utama. Kemuliaan suatu makrifah, katanya, sangat terkait dengan obyeknya. Allah adalah zat yang Maha Agung dan Maha Mulia; dan karena itu mengenalNya merupakan kebahagian dan kenikmatan yang tiada taranya. Dalam hal ini al-Ghazâlî menulis Dengan demikian jelas bahwa ilmu itu adalah suatu kelezatan; sedang ilmu yang paling lezat adalah ilmu tentang Allah Ta'ala, sifat-sifatNya, perbuatan-perbuatanNya dalam kerajaanNya dari ujung Sebuah risalah yang tersimpan di universitas Leiden, Belanda. Risalah ini dipublikasikan oleh Dr. Mahmûd Hamdî Zaqruq dalam majalah Minbar al-Islâm, Kemudian diterbitkan oleh Maktabah al-Jundî, Mesir yang dijilid menjadi satu dengan karyanya al-Iqtishâd fî al-I‟tiqâd. Risalah yang terdiri dari beberapa halaman ini ditempatkan pada bagian akhir setelah al-Iqtishad. Penerbitnya oleh Maktabah al-Jundî ini diberi pengantar oleh Mumahhad Mustafâ Abû al-„Ala. Lihat Muhammad Mustafa Abû al-„Alâ, “Tashdîr al-Risâlah” dalam Abû Hamîd al-Ghazâlî, Fî Bayân Ma‟rifatillah Maktabah al-Jundî, Mesir, 220. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Fî Bayân Ma‟rifatillah, 225. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Iljâm al-„Awâm „an „Ilm al-Kalâm Turkey Hakikat Kitabevi, 1981, 32. Al-Ghazâlî, Fî Bayân, 223-224. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah arasyNya sampai ke batas akhir dunia. Karena itu haruslah dicamkan bahwa kelezatan makrifah lebih utama dari kelezatan seluruh apa pun .Dengan demikian, tujuan akhir dari perjalanan orang-orang ârif ialah bertemu al-liqâ' dengan Tuhan. Dengan pertemuannya itu, semua kesusahan dan keinginan duniawi hilang/lenyap dari perasaan batinnya. Dia tenggelam dalam lautan kenikmatan karena berjumpa dengan Tuhan. Jika dimasukkan ke dalam neraka, dia tidak akan merasa kesakitan dan jika ditawarkan kepadanya kenikmatan surga, dia tidak akan berpaling kepadanya karena dia telah sampai pada tingkat kenikmatan yang paling sempuma. Tingkat-tingkat Makrifah Dalam proses pencarian makrifah atau ilmu yang meyakinkan tersebut, pertama-tama muncul ilmu inderawi ke depan karena ia dapat diperoleh dengan mudah dan merupakan tanggapan langsung. Tetapi ilmu yang merupakan hasil pengamatan langsung dan tampak mudah ini temyata menunjukkan kepalsuan jika ditilik lebih dekat dan dikejar lebih jauh. Dalam Mi‟yâr al-„Ilm dicontohkan dengan memperhatikan indera yang paling utama, kuat dan dominan, yaitu mata. Ketika melihat bayangan benda, mata menganggapnya diam, padahal bayangan itu bergerak perlahan yang tidak dapat ditangkap oleh mata. Dari jarak jauh, suatu benda tampak kecil pada mata, padahal benda itu besar bila ditilik dari dekat. Mata melihat seorang anak kecil, tampak tidak tumbuh besar, padahal setiap detik dia terus tumbuh dan berkembang. Mata melihat matahari kecil, padahal ia lebih besar dari planet bumi. Tidakkah mata melihat bintang-bintang di langit hanya sebesar uang-uang logam, padahal bukti-bukti menunjukkan bahwa ia lebih besar dari yang kita dalam bukunya al-Munqiz yang ditulisnya kemudian, dia menambahkan bahwa tipuan dan kepalsuan yang diberikan indera itu menyebabkannya ragu pada seluruh pengetahuannya. Oleh karena itu semua ilmu inderawi tidak dapat diyakini dan bukanlah ilmu yang percayaan al-Ghazâlî terhadap laporan inderawi mendorongnya terus melangkah, memburu makrifah melalui ilmu-ilmu akli. Dalam salah satu karyanya al-Ghazâlî membandingkan akal itu dengan mata, dimana ditegaskan bahwa akal mengungguli mata dalam hal kesanggupannya memperoleh ilmu yang meyakinkan. Di situ disebutkan tujuh kelemahan mata yang sekaligus menunjukkan kelebihan akal dari mata tersebut dalam mengenal hakikat. Di sini timbul persoalan, kalau demikian halnya mengapa orang-orang berakal berbuat salah dalam pandangan dan pemikirannya. Menurut al-Ghazâlî, kesalahan bukanlah terletak pada akal itu, tetapi karena khayalan dan angan-angan dicampuradukkan dengan akal, sedang akal yang bersih tidak mungkin berbuat salah dan keliru melihat segala sesuatu seperti apa adanya. Namun terhindamya samasekali dari hal-hal seperti ini sungguh sulit. Bahkan, terhindamya ia, secara sempuma, dari dorongan-dorongan seperti ini hanya dapat dialaminya kelak, setelah mati. Jadi al-Ghazâlî mengakui adanya kesulitan-kesulitan besar yang menghalangi penjemihan dan abstraksi akal ini, sehingga dapat dikatakan mustahil Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, 300. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Mi‟yâr al-„Ilm Mesir al-Matb‟ah al-„Arabiyah, 1927, 55. Al-Ghazâlî, al-Munqiz, 5-6. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, Cairo al-Dâr al-Qaumiyah, 1964, 43-47. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, 25. Studia Insania Vol. 4, No. 1 berlaku penjemihan didunia ini. Dengan demikian, tidak ada pula harapan untuk menjadikan akal sebagai alat untuk mencapai makrifah atau ilmu yang meyakinkan sebagaimana yang terjadi pada pancaindera. Keadaan ini membuat al-Ghazâlî tidak percaya terhadap seluruh pengetahuannya, baik ilmu-ilmu inderawi maupun ilmu-ilmu akli, kecuali ilmu-ilmu akli yang bersifat aksiomatik al-awwaliyât seperti pengetahuan bahwa sepuluh itu lebih dari tiga, dan pemyataan penolakan dan penerimaan tidak dapat berkumpul dalam satu al-Ghazâlî — sebagaimana sufi-sufi lainnya memandang bahwa indera dan akal tak mampu memberikan pengetahuan yang hakiki. Indera tidak sepenuhnya dapat dipercaya karena ia sering memberikan keterangan yang keliru. Demikian pula akal, karena hasil yang ditarik dari penalaran rasional tidak terlepas dari data yang diberikan indera. Tetapi selain dari dua macam yang disebutkan di atas, ada satu ilmu yang tidak mempergunakan indera dan akal yang disebut dengan ilmu ilhami atau disebut pula ilmu laduni; namun lebih populer disebut dengan ilham. Ilham, menurut al-Ghazâlî, ialah ilmu yang didapat manusia tanpa proses pengamatan dan penalaran atau dengan jalan belajar, ia langsung datang ke dalam kalbu, sebagai anugerah Tuhan. Ilmu ini khusus untuk para wali al-auliyâ' dan orang-orang pilihan yang bersih jiwanya al-ashfiyâ‟.Setelah berkesimpulan bahwa ilmu yang didapat melalui indera belum dapat meyakinkan dirinya, al-Ghazâlî terus menyelidiki ilmu yang didapat melalui akal; namun di sini dia juga merasa belum yakin terhadap keabsahan ilmu yang didapat lewat akal itu. Kali ini baik ilmu inderawi maupun ilmu akli sangat tergantung pada kesadaran dan keadaan seseorang ketika ia mengidentifikasikan apa yang sedang dia amati dan pikirkan. Sebagai contoh, ambillah soal mimpi. Tidakkah kita dapat menyaksikan dalam mimpi hal-hal seperti benar-benar terjadi, tetapi setelah kita terbangun nyatalah semua itu khayal belaka. Barangkali segala yang kita percayai diwaktu jaga sadar, baik dengan indera maupun akal, itu hanya berhubungan dengan keadaan kita ketika itu sadar, sehingga andaikata kita sampai kepada suatu keadaan yang lebih sadar lagi, barangkali di situ kita insaf bahwa keadaan kita ketika itu seakan-akan mimpi ilmu inderawi dan ilmu akli sangat tergantung pada keadaan dan kesadaran seseorang, maka mungkin kata al-Ghazâlî keadaan dan kesadaran yang lebih tinggi telah dicapai oleh kaum sufi, yang dalam keadaan tertentu mereka dapat menyaksikan hal-hal yang tidak mungkin dicapai oleh indera dan akal. Jadi menurut al-Ghazâlî, ilmu yang meyakinkan telah dicapai oleh kaum sufi. Mereka telah sampai pada suatu keadaan yang lebih tinggi dari yang dicapai oleh para ilmuan dan filosof. Kaum sufi dapat menyaksikan hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh mereka. Hal ini dicapai melalui nûr yang diberikan Tuhan kepada orang yang dikehendakiNya. Nûr ini, katanya, adalah kunci pembuka sebagian besar ilmu makrifah. Jelas bahwa makrifah yang tertinggi dalam paham tasawuf al-Ghazâlî didapat melalui ilham, yaitu Tuhan memasukkan nûr ke dalam kalbu seseorang untuk mengenai rahasia-rahasia ketuhanan dan hakikat segala sesuatu. Jadi, menurut al-Ghazail, seseorang tidak akan dapat mencapai makrifah dengan indera dan akal, akan tetapi melalui nûr yang diilhamkan Tuhan ke dalam kalbunya. Al-Ghazâlî, al-Munqdiz, 5-6. Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, III, 17. Al-Ghazâlî, al-Munqidz., 6. Al-Ghazâlî, al-Munqidz, 7. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah Barangsiapa mengira bahwa adanya kasyf tergantung pada dalil-dalil semata, maka sesungguhnya dia telah menyempitkan rahmat Allah yang amat luas. Rasulullah saw ketika ditanya tentang makna al-syarh lapang dada dalam firman Allah "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk niscaya Dia melapangkan dadanya untuk memeluk agama Islam." mengatakan "Yaitu nûr yang dilimpahkan Allah ke dalam mengemukakan pendapat al-Ghazâlî ini, „Alî „Abd al-„Azîm merumuskan, bagaimana indera dan akal dapat menyesatkan para pencari makrifah. Sedang jalan satu-satunya untuk sampai ke sana adalah melalui nûr yang diilhamkan Tuhan ke dalam hati-nurani, sebagaimana katanya Sesungguhnya Hujjatu al-Islam al-Ghazâlî telah menjelaskan dalam kitabnya yang amat berharga al-Munqidz min al-Dhalâl bagaimana indera dan akal menyesatkan para pencari makrifah, Dan satu-satunya jalan untuk mencapai makrifah tersebut ialah dengan kalbu yang mendapat ilham, yang disinari nûr disebutkan di atas, zauq orang sufi yang lahir dari kejemihan batin melalui pelaksanaan hidup zuhud zuhd, asceticism dan peribadatan itu merupakan tingkat permulaan dari kenabian para nabi. Tetapi dia tidak mengatakan bahwa seorang sufi dapat mencapai tingkat yang sama dengan para nabi. Makrifah yang dicapai para sufi itu sejenis dengan apa yang dicapai para nabi, walaupun tingkatnya lebih rendah. Dengan kata lain, para sufi dapat menjelajah ke daerah yang tidak mungkin dimasuki para filosof, walaupun tidak sedalam yang mungkin dicapai para nabi. Namun, bagaimanapun, para sufi tidak mungkin menganggap diri mereka telah mencapai daerah bebas hukum syariat, karena yang disebut terakhir ini adalah kebenaran yang bersumber dari kenabian yang jauh lebih tinggi kebenarannya dari apa yang dapat dicapai oleh sang sufi. Al-Ghazâlî juga telah menempatkan indera, akal dan ilham sesuai dengan sifat dan wewenang masing-masing sebagai sarana untuk mencapai makrifah. Namun, berdasarkan penelitian dan pengalamannya, dia menyimpulkan bahwa yang terakhir inilah sarana yang aman dan dapat menyampaikan ke tujuan, yakni sesuatu yang dicarinya sejak selagi muda hingga akhir hayatnya. Dalam hal ini Ahmad al-Syarbâsî mengatakan Akhimya dia temukan apa yang dicarinya dan ketenangan jiwanya di dalam tasawuf. Pada saat itu dia tahu bahwa indera adalah sarana untuk memperoleh pengetahuan empirik al-ma‟rifah al-mâddiyah, akal untuk memperoleh pengetahuan rasional al-ma‟rifah al-„aqliyah dan ilham untuk memperoleh pengetahuan sufistik al-ma‟rifah al-shûfiyah. Sesungguhnya yang terakhir ini adalah cara yang dapat menyampaikan ke tujuan dan sarana yang dalam kitabnya Iljâm al-„Awâm, sebuah kitab teologis, al-Ghazâlî menasehati kaum awam tentang hal-hal yang wajib diusahakan dan dihindari. Dia pun memberikan batas makrifah yang dapat dijangkau oleh akal pikiran orang awam. Nasehat pertama, hendaknya kaum awam membersihkan antropomorfisme dari pemikiran tentang Tuhan. Jika terdengar ayat-ayat tentang Allah mempunyai tangan, jari-jari dan lain sebagainya, janganlah muncul adanya gambaran bahwa Dia mempunyai daging, darah dan tulang. Allah itu bersih dari segala sifat dan bayangan antropomorfik. Nasehat kedua, hendaknya mereka membenarkan segala ajaran yang datang dari rasul, sahabat dan tâbi‟în, serta menerimanya tanpa penelitian dan tanya. Sebab Al-Ghazâlî, al-Munqidz, 7. Abd al-„Azîm, Falsafah al-Ma‟rifah, 287-289. Ahmad al-Syarbâsî, al-Ghazâlî wa al-Tashawwuf al-Islâmî Cairo Dâr al-Hilâl, 172. Studia Insania Vol. 4, No. 1 penelitian tentang rahasia akidah bukan merupakan urusan orang awam, dan bukan keahliannya. Pertanyaan terhadap rahasia akidah tersebut berbahaya, bahkan dapat membawa kepada kekufuran. Yang mesti dicamkan oleh kaum awam, katanya, ialah bahwa rahasia tadi tidak tersembunyi bagi orang arif, yaitu mereka yang telah menapaki jalan orang arif dan telah mencapai siapakah yang dimaksud dengan awam menurut al-Ghazâlî? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama dapat dilihat pada pembagian tingkat keimanan atau tajalli tersingkapnya Tuhan bagi seseorang sebagaimana tertuang dalam kitabnya, Ihyâ‟, sebagai berikut 1. Iman orang awam, yaitu orang kebanyakan yang tidak banyak berilmu. Inilah iman taklid semata-mata. 2. Iman ahli kalam mutakallimîn, yaitu orang-orang yang imannya berdasarkan pemikiran dan penalaran. Tingkat iman semacam ini tidak berjauhan dengan tingkat orang awam tadi. 3. Iman orang „ârif yaitu mereka yang mencapai tingkat keimanan dengan nûr al-yaqîn cahaya kepastian.Untuk menjelaskan tingkat-tingkat keimanan di atas, al-Ghazâlî mengemukakan ilustrasi, yaitu Jika anda ingin mengetahui adanya si Zaid dalam rumah, maka hal ini memiliki tiga tingkatan. Tingkat pertama, kalau anda diberi tahu oleh orang yang sudah anda uji kejujurannya anda belum pemah mengenal dia berdusta dan anda tidak menaruh prasangka terhadap ucapannya, maka sungguh hati anda akan puas dan tenang dengan berita orang tadi dengan semata-mata hanya mendengamya saja. Inilah iman yang berdasarkan ikut-ikutan taklid semata, yaitu perumpamaan iman orang-orang awam. Mereka mendengar dari ibu-bapaknya tentang wujud Allah dan sifat-sifatNya, mendengar diutusnya para rasul dan ajaran-ajaran yang mereka bawa. Dari apa yang didengamya itu, mereka menerimanya dengan penuh keyakinan tanpa keraguan sedikit pun karena sangka baik terhadap orang-tua dan guru-guru mereka. Iman semacam ini dapat menuju ke akhirat. Akan tetapi ini merupakan tingkat permulaan, belum tergolong muqarrabîn karena tidak adanya kasyf dan bashîrah serta tidak adanya kelapangan dada buat nûr al-yaqîn. Mengapa demikian? Karena adanya kemungkinan salah tentang apa-apa yang didengamya itu. Hati orang Yahudi dan Nasrani juga merasa tenang dan puas dengan hal-hal yang mereka dengar dari ibu-bapak mereka. Tetapi mereka mendengar dan mengikuti ajaran yang salah. Tingkat kedua, jika anda mendengar perkataan Zaid dan mendengar suaranya di balik dinding, lantas anda mengatakan bahwa Zaid ada di dalam dengan berdalih telah mendengar suaranya. Dalam hal ini, iman dan keyakinan anda tentang adanya Zaid dalam rumah lebih kuat dari kepercayaan pada tingkat pertama. Iman pada tingkat kedua ini adalah keyakinan yang telah disertai dengan dalil. Namun kesalahan pun masih mungkin terjadi, karena suara si A kadang-kadang serupa dengan suara si B. Sungguhpun demikian, hal itu tidak terlintas di hatinya, karena dia tidak menaruh prasangka samasekali, lagi pula dia sedikit pun tidak merasa terkicuh dan terserupakan dengan suara yang lain. Tingkat ketiga, apabila anda masuk ke dalam rumah, lantas anda melihat dan menyaksikan si Zaid dengan mata kepala sendiri. Tingkat ketiga ini adalah makrifah yang hakiki dan pembuktian yang menguatkan keyakinan. Inilah makrifah para muqarrabin dan siddiqin. Kendatipun demikian, tingkat iman mereka Al-Ghazâlî, Iljâm, 8-9. Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, III, 15. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah berbeda-beda sesuai dengan tingkat pengenalan dan kasyf masing-masing. Seseorang yang melihat Zaid dari dekat dan di siang hari tentulah lebih sempuma dari seseorang yang melihatnya dari jauh dan di waktu senja. Berdasarkan klasifikasi di atas, dalam kitabnya Mizân al-„Amal, al-Ghazâlî membagi pemikiran manusia atas tiga tingkatan 1. Pendapat yang diikuti secara fanatik, karena pendapat itu berkembang di daerah orang itu hidup, atau merupakan pendapat keluarga atau gurunya. 2. Pendapat orang-orang yang mencari kebenaran mustarsyidîn atau yang mengikuti jalan pikiran mereka. Pendapat ini berbeda-beda, tergantung pada kemampuan masing-masing pencari kebenaran itu sendiri. Kalau ia bukan orang genius, pasti akan tergelincir. 3. Pendapat yang hanya diketahui orang yang dekat dengan Tuhan. Orang lain tidak memahami dan mengerti; karena itu, pemikiran yang demikian tidak boleh disampaikan kepada sembarang orang. Ia hanya dapat diutarakan kepada rekan seprofesi atau orang yang sudah setingkat pikiran di atas, boleh jadi, menyebabkan al-Ghazâlî menyusun buku dengan tingkat dan bobot berbeda-beda. Ada yang untuk orang awam lower class; dan ada yang hanya untuk kalangan tertentu elite class. Buku tipe terakhir ini tidak disebar buat orang awam. Dalam hal ini, para ahli masih berbeda pendapat dalam menunjuk buku al-Ghazâlî yang ditujukan untuk kalangan elit. Namun mereka sepakat bahwa dia mengarang buku-buku jenis itu, dan berisi pikiran-pikiran atau pengalaman-pengalaman khusus yang tidak mungkin diutarakan kepada orang awam, karena lantaran dikhawatirkan akan menyesatkan mereka. Barangkali buku-buku semisal Iljâm „Awâm „an „Ilm al-Kalâm, Misykât al-Anwâr, dan Al-Madhmûn Bihi Alâ Ghairi Ahlihî ditulisnya untuk kalangan elit tersebut. Oleh karena itu, dalam kitabnya Iljâm al-„Awâm, al-Ghazâlî hanya membagi tingkatan manusia dalam hubungannya dengan pencapaian makrifah ke dalam dua tipe, yaitu kelompok awam dan kelompok elit. Siapakah yang dimaksud dengan awam dalam kitabnya ini? Al-Ghazâlî membatasi awam sebagaimana yang telah kita bicarakan, yaitu sastrawan, ahli nahwu ahli tatabahasa, muhaddits ahli hadis, mufassir ahli tafsir, faqîh ahli fiqh dan ahli kalâm teolog, bahkan semua orang berilmu kaum intelektual, selain kaum mutajarridîn mereka yang melepaskan diri dari ikatan dunia untuk belajar berenang mengarungi lautan makrifah. Jika yang termasuk kriteria awam itu adalah semua orang yang berilmu yang tidak melepaskan diri dari ikatan dunia dengan segala pesonanya untuk mengarungi lautan makrifah,maka kita bisa memasukkan para ahli pikir ke dalam kriteria awam, yaitu mereka yang menjadikan akal sehagai sarana untuk mencapai makrifah. Al-Ghazâlî memisalkan perbedaan ilmu yang didapat dengan jalan ilham dengan ilmu sebagai hasil studi sebagai berikut Andaikata ada sebuah kolam yang digali di bumi, mungkin saja dialirkan air kepadanya dari sebelah atas melalui saluran-saluran air ke dalam kolam itu, dan mungkin pula lewat sebelah bawah dengan menggali terus dimana tanah-tanahnya diangkat dari dalam kolam tersebut sehingga sampai kepada tempat air yang bersih, lantas terpancarlah air dari sebelah bawah kolam tersebut; dan air yang Al-Ghazâlî, Mîzân, 156-8. Al-Ghazâlî, Iljâm‟, 15. Studia Insania Vol. 4, No. 1 demikian itu lebih bersih dan lebih kekal tidak mudah kering, kadang-kadang lebih banyak dan berlimpah ruah. Demikianlah, kalbu bagaikan kolam dan ilmu bagaikan air, sedangkan pancaindera seperti saluran-saluran air. Besar kemungkinan ilmu-ilmu itu disalurkan ke kalbu lewat saluran-saluran indera dan mengambil pelajaran dari barang-barang yang nyata sehingga kalbu penuh berisi ilmu. Mungkin pula saluran-saluran indera itu dibendung dengan khalwat, mengasingkan diri „uzlah dan menutup penglihatan serta secara sadar menggali kedalaman kalbu dengan membersihkannya, menghilangkan lapisan-lapisan tirai daripadanya, sehingga terpancarlah sumber-sumber ilmu dari dalam kalbu al-Ghazâlî ini dapat mengundang pertanyaan. Misalnya, bagaimana ilmu itu dapat memancar dari kalbu, sedang ia bukan sumber ilmu? Untuk menjawab pertanyaan ini, dia berkata "Ketahuilah, hal itu tergolong sebagian dari rahasia keajaiban kalbu. Ia tidak dapat diukur dengan ilmu mu‟âmalah. Tentang apa yang disebut dengan ilmu mu‟âmalah ini akan diuraikan kemudian. Sekarang timbul pertanyaan, apakah dengan demikian al-Ghazâlî tidak menghargai ilmu, anti intelektualisme dan tidak percaya terhadap akal, yang menyebabkan terjadinya stagnasi daya kreatifitas dan inovasi kaum muslimin dimana pengaruhnya sangat dominan. Pertanyaan ini, temyata, tidak hanya muncul dari pengklasifikasian makrifah seperti terurai dimuka, tetapi juga dilatarbelakangi sikapnya yang tidak mempercayai hukum sebab-akibat atau kausalitas dan serangannya yang gencar terhadap filsafat. Untuk mengetahui sikap al-Ghazâlî terhadap ilmu pengetahuan science, mari kita lihat keterangannya dalam kitab Ihyâ' pada bab yang membicarakan tentang ilmu. Di bawah judul "Bayân al-„Ilm al-ladzî Huwa Fardhu Kifâyah" al-Ghazâlî membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu syar‟iyah ilmu agama dan ghair syar'iyah bukan ilmu agama. Ilmu syar'iyah ialah ilmu yang berasal dari para nabi as., bukan karena produk pemikiran seperti Ilmu Hitung al-hisab, bukan hasil eksperimen seperti Ilmu Kedokteran al-thibb dan bukan pula hasil pendengaran seperti bahasa al-lughah. Sedangkan ilmu-ilmu ghair syar‟iyah terbagi kepada tiga macam, yaitu terpuji mahmûd, tercela mazmûm dan boleh mubâh. Ilmu yang terpuji ialah ilmu yang berhubungan dengan kemaslahatan urusan dunia, seperti Ilmu Kedokteran dan Ilmu Hitung. Selanjutnya ilmu ini terbagi lagi menjadi fardhu kifâyah dan keutamaan yang tidak difardukan. Sedangkan yang termasuk fardhu kifâyah ialah setiap ilmu yang sangat dibutuhkan untuk menegakkan urusan-urusan dunia, seperti Ilmu Kedokteran karena ia merupakan bagian integral dari kelangsungan hidup manusia; dan Ilmu Hitung karena ia sangat dibutuhkan dalam pergaulan al-mu‟amalat, pembagian wasiat, waris dan lain apa yang terurai dalam kitab Ihyâ' tersebut, jelas bahwa al-Ghazâlî begitu apresiatif terhadap ilmu pengetahuan, yaitu dengan menempatkan ilmu-ilmu yang berguna bagi dunia dan kemanusiaan pada status terpuji serta mempelajarinya adalah fardhu kifâyah. Oleh sebab itu mungkin perlu ditinjau kembali pendapat yang mengatakan bahwa kemerosotan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam antara lain disebabkan sikap dan pendapat al-Ghazâlî tentang pengklasifikasian tingkat kemampuan di atas. Memang, sebagai pengikut dan sekaligus salah seorang tokoh aliran Asy'ariyah dalam bidang kalâm, al-Ghazâlî tidak percaya adanya kepastian hukum sebab-akibat atau hukum alam. Hal ini merupakan Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, III, 19. Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, III, 19. Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, I, 17. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah konsekuensi dari pendapatnya tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Berbeda dengan orang-orang Mu‟tazilah, al-Ghazâlî berpendapat bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendakNya, tanpa terikat pada sesuatu apa pun, termasuk pada hukum alam. Pendapat al-Ghazâlî inilah yang sering dikritik dan dipandang, seperti tersebut di atas, sebagai penyebab terjadinya kemerosotan ilmu pengetahuan dalam sejarah pemikiran Islam, sebab, kemajuan ilmu pengetahuan itu merupakan produk pengamatan dan penalaran terhadap hukum alam tersebut. Adanya hubungan sebab-akibat seperti yang terlihat dalam keseharian, demikian selanjutnya al-Ghazâlî menjelaskan, haruslah dikembalikan kepada takdir Allah. Apabila yang satu mengikuti yang lain, maka hal itu memang telah diciptakan demikian, bukan karena hubungan itu suatu keharusan yang tercipta dalam dirinya dan tidak bisa diubah lagi. Allah berkuasa untuk menciptakan kenyang tanpa makan, mati tanpa putusnya leher dan menghilangkan kehidupan dengan putusnya leher; dan demikian seterusnya hingga keseluruhan hubungan yang saling berarti bahwa al-Ghazâlî tetap konsisten pada paham teologisnya seperti disebutkan di atas. Kemudian tentang serangannya terhadap filsafat yang juga dikatakan sebagai penyebab terjadinya kemandekan daya kreatifitas filsafat dan ilmu pengetahuan tidak lagi berkembang sebagaimana halnya di zaman keemasan dahulu di dunia Islam, barangkali masih perlu ditinjau kembali. al-Ghazâlî mempelajari filsafat, kelihatannya untuk menyelidiki apakah pendapat-pendapat yang dikemukakan para filosof itulah yang merupakan kebenaran. Baginya temyata argumen-argumen yang mereka majukan tidak kuat dan menurut keyakinannya ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Akhimya dia mengambil sikap menentang terhadap dalam kitabnya Tahâfut al-Falâsifah, yang kemudian ditegaskan kembali di dalam al-Munqiz, al-Ghazâlî menyerang duapuluh masalah dari proposisi para filosof, tidak saja filosof Yunani, tetapi juga filosof muslim seperti al-Fârâbî dan Ibnu Sinâ. Dari keduapuluh masalah tersebut, ada tiga proposisi mereka yang dipandangnya membawa kekufuran, sedang selebihnya hanya mengandung bid'ah dan mendekati paham Mu‟tazilah yang tidak seyogyanya dikafirkan. Ketiga proposisi filosof yang diserangnya dengan gencar dan habis-habisan itu adalah Pertama, penyangkalan para filosof akan kebangkitan jasmani pada hari kiamat. Kedua, terbatasnya pengetahuan Tuhan, yaitu Dia hanya mengetahui alam ini secara global, sedangkan hal-hal secara detail berada di luar pengetahuanNya. Ketiga, pendirian para filosof akan kekekalan alam. Selanjutnya, katanya, tak seorang muslim pun yang mempercayai proposisi-proposisi semacam ini. Sekalipun begitu, menurut al-Ghazali, di antara masalah yang digeluti para filosof terdapat hal-hal yang tidak bertentangan dengan agama. Matematika, yaitu ilmu yang berhubungan dengan Ilmu Hitung Arithmetic, Ilmu Ukur Geometry dan Kosmologi Cosmology sama sekali tidak bertentangan dengan agama. Ia membawa bukti-bukti yang pasti. Namun perlu diingat, ia memiliki dua bahaya 1 Karena begitu mengaguminya, hingga dia mengira bahwa pendapat para filosof itu semuanya benar, dan 2 Timbul dari Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, I, 111. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Tahâfût al-Falâsifah Mesir Dar al-Fikr, 239. Harun Nasution, Falsafah, 42-43. Al-Ghazâlî, Ihya‟, I, h. 307-308. Dan lihat al-Ghazâlî, al-Munqîdz,, 16-17. Studia Insania Vol. 4, No. 1 orang yang merasa tahu tentang Islam, tapi sebenamya dia tidak tahu. Dia berkeyakinan, Islam harus dibela dengan menolak semua ilmu dari kaum filosof. Namun setelah dia tahu akan kebenaran ilmu tersebut, dia menjadi tidak percaya terhadap ajaran agama, karena ajaran agama itu dipandangnya bertentangan dengan ilmu yang sudah "pasti" kebenarannya itu. Selanjutnya, juga, Ilmu Mantik atau Logika, yaitu ilmu tentang cara-cara mencari dalil, membuat analogi dan menerangkan syarat-syarat untuk definisi yang benar, tidak bertentangan dengan agama, malah sangat diperlukan. Namun bahayanya, kata al-Ghazâlî, yakni adanya kebenaran yang diberikan ilmu ini, bisa membawa orang untuk menganggap benar semua pendapat kaum filosof. Demikian pula Ilmu Alam atau Fisika, yakni ilmu yang membahas tentang benda-benda apa yang ada di langit seperti bintang-bintang dan apa yang ada di bumi seperti air, udara dan sebagainya samasekali tidak ditolak keberadaannya dalam agama. Namun yang penting harus diyakini, kata al-Ghazâlî, bahwa alam ini berada di bawah kekuasaan dan kehendak Penciptanya, Allah SWT. Ini berarti bahwa al-Ghazâlî tidak apriori menolak atau menerima produk pemikiran para filosof. Selanjutnya al-Ghazâlî memperingatkan, bahwa dalam menanggapi ajaran kaum filosof ini orang bisa terjerumus ke dalam dua bahaya. Pertama, bahaya bagi orang yang menolak, yaitu mereka yang menolaknya mentah-mentah tanpa melihat sisi positif dari ajaran para filosof itu, karena menganggap bahwa semua ajaran yang berasal dari mareka itu salah. Kedua, bahaya bagi yang menerima, yaitu mereka yang menerima begitu saja tanpa meneliti benar-salahnya terlebih uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa al-Ghazâlî bukanlah tokoh yang samasekali tidak menghargai akal, sebab, dia hanyalah menyerang beberapa aspek tertentu dari ajaran para filosof, yang dimasukkannya sebagai masalah-masalan Ketuhanan Ilâhiyât. Dia tidak menentang logika atau penggunaan akal dan nalar; yang dia tentang adalah klaim akal untuk memperoleh dan mengetahui seluruh kebenaran, termasuk masalah-masalah Ketuhanan yang sebagian besar dalam paham teologi al-Ghazâlî hanya dapat diketahui lewat wahyu. Makrifah sebagai Ilmu Mukasyafah Al-Ghazâlî memperkenalkan karya monumentalnya Ihyâ' „Ulûm al-Dîn dengan suatu peringatan, bahwa dia menulis bukunya itu bukan dengan tujuan untuk merumuskan kebenaran-kebenaran agamawi dengan kata-kata. Dalam hal ini dia memberi peringatan dengan alasan utama bahwa pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum, ia hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Di dalam melukiskan kenyataan, kata-kata hanya mengikuti ketentuan-ketentuan dari akal pikiran. Pengertian tentang kebenaran sufistik membutuhkan perkembangan tertentu dari si pembacanya dimana unsur pokok dari pengetahuan itu dihubungkan. Kebenaran sufistik berada di tingkat ini dan pengetahuan merupakan bagian yang tak terpisahkan di dalam diri seseorang. Ungkapan dengan kata-kata tidaklah mungkin, karena kata-kata tidak dapat menyampaikan hubungan dalam cara yang mengandung arti yang sebenamya, karena itu akan menyesatkan mereka yang tidak memiliki hubungan tersebut dalam dirinya. Al-Ghazâlî, al-Munqîdz, 13-16. Al-Ghazâlî, al-Munqîdz, 17-20. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah Pada tingkat pemahaman sufistik, hal-hal yang telah diketahui merupakan pengetahuan antara manusia dengan Tuhan. Pengetahuan ini bukan merupakan suatu bentuk dari pemikiran yang sistematis, yang dapat diatur dengan kata-kata dan dapat dikomunikasikan dengan hasil pemikiran. Kontak antara sufi dengan obyek pengetahuan bersifat intim dan langsung; sistematisasi dan kata-kata dapat mencegah hubungan langsung tersebut. Apa yang dapat ditulis atau diajarkan oleh orang-orang sufi adalah "jalan" mencapai suatu kenyataan, bukan uraian tentang kenyataan. Kontak seperti itu diperoleh dari hasil penyingkiran "selubung-selubung" yang menutupi penglihatan kalbu dari kenyataan. Selubung tersebut adalah penglihatan dengan pemikiran dan penalaran intelektual. Termasuk di dalamnya juga kebiasaan-kebiasaan, sifat dan tujuan-tujuan duniawi yang menguasai kecerdasan seseorang; dan dengan demikian menghalangi kebebasannya. Apabila kalbu bebas dari semua halangan tersebut dan tidak menyimpang dari tujuannya, maka seseorang akan dapat menerima pengetahuan yang hakiki. Pada tingkat ini, pengetahuan yang hakiki makrifah tersebut disebut ilmu mukasyafah. Ilmu mukasyafah merupakan tujuan terakhir dari para pencari kebenaran dan mereka yang berkeinginan untuk meletakkan keyakinannya di atas kepastian. Kepastian yang hakiki di atas kebenaran hanya mungkin ada pada tingkat ini. Ilmu mukasyafah termasuk ilmu batin dan merupakan puncak segala ilmu. Di antara orang-orang arif pemah mengatakan "Barangsiapa tidak memiliki ilmu ini, dikhawatirkan akan celaka pada akhir hayatnya. Paling tidak dia harus mengakui eksistensinya dan tunduk kepada ahlinya." Inilah ilmu para Siddiqin dan yang dimaksud dengan ilmu mukâsyafah, di dalam Pendahuluan kitabnya Ihyâ', al-Ghazâlî mengatakan bahwa ilmu mukâsyafah ialah ilmu yang menyingkap segala sesuatu yang menjadi obyeknya. Di halaman lain al-Ghazâlî menyebutkan bahwa ilmu mukâsyafah ialah ungkapan tentang nûr yang tampak di dalam kalbu ketika kalbu itu bersih dan suci dari sifat-sifat yang tercela, Dengan nûr itu tersingkaplah hakikat segala sesuatu. Dengan demikian tercapailah makrifah yang hakiki, baik mengenai rahasia Ketuhanan maupun rahasia perbuatan-Nya dalam menciptakan dunia dan akhirat. Oleh karena itulah, al-Ghazâlî seterusnya mengatakan, bahwa ilmu mukâsyafah berarti hilangnya tutup sehingga jelas bagi seseorang kejelasan Tuhan pada segala hal, seperti jelasnya pandangan mata yang tidak diragukan lagi. Hal ini dapat dicapai seandainya cermin kalbu tidak ditutupi karat dan tidak dikotori oleh noda-noda langsung terhadap obyek-obyek pengetahuan merupakan tujuan akhir dari setiap ajaran kaum sufi. Obyek tertinggi dari pengetahuan adalah Allah. Orang tidak dapat mempelajari pengetahuan seperti itu dari siapa pun; dari para nabi pun tidak. Sebagai pengalaman langsung, menurut al Ghazali, ia adalah nûr yang diilhamkan Tuhan ke dalam kalbu orang-orang tertentu yang dikehendakiNya. Dalam hal ini, dengan mengemukakan sabda Rasulullah saw, al-Ghazâlî menegaskan bahwa orang harus Al-Ghazali, Ihya‟, I, 20. Al-Ghazali, Ihya‟, I, 4. Al-Ghazali, Ihya‟, I, 20. Al-Ghazali, Ihya‟, I, 21. Studia Insania Vol. 4, No. 1 "Menjauhi dunia yang penuh tipuan dan menghadap dengan sepenuh perhatian ke alam akhirat yang abadi." Selanjutnya Rasulullah bersabda pula "Allah SWT. telah menciptakan seluruh makhluk dalam kegelapan, lalu Dia perciki mereka sebagian dari nûr-Nya." Karena itu, dengan nûr inilah dicari kasyf. Nûr ini memancar dari kemurahan Ilahi pada waktu-waktu tertentu dimana orang harus berjaga-jaga untuk menerimanya, sebagaimana sabda Rasulullah "Ada saat karunia dari Tuhanmu, siapkanlah dirimu untuk al-Ghazali, ilmu mukâsyafah adalah ilmu yang tersembunyi al-khafi hanya diketahui oleh mereka yang benar-benar mengenal Allah. Karena itulah mereka hanya mempergunakan simbol-simbol khusus serta tidak memperbincangkannya di luar kalangan sendiri. Pengetahuan-pengetahuan yang begini, yang hanya dikemukakan melalui simbol, tidak diperkenankan disampaikan kepada setiap orang. Oleh karena itu, orang yang telah memperoleh pengetahuan tersebut tidak boleh mengungkapkannya kepada orang yang tidak pemah memper dalam Mukaddimah bukunya Misykât al-Anwâr, sebuah buku yang ditulisnya untuk kalangan tertentu yaitu orang-orang yang siap menerima berbagai hakikat yang pelik, al-Ghazâlî memperingatkan bahwa ada hal-hal yang tidak dapat ditangkap/diterima oleh orang-orang yang hanya menggunakan "mata" biasa indera dan akal. Karena itulah, katanya, tidak semua hakikat boleh diungkapkan dan disiarkan; tidak semua hakikat boleh dikemukakan. Bahwa "kalbu orang-orang yang merdeka adalah kuburan berbagai rahasia." Sebagaimana pula dikemukakan oleh seorang „ârif." Mengungkapkan rahasia Ilahi adalah kekufuran." Rasulullah saw; penghulu orang-orang terdahulu dan terkemudian, katanya, pemah bersabda "Di antara berbagai ilmu ada yang tersembunyi rapat, tidak seorang pun mengetahuinya kecuali ulama yang dekat dengan Allah. Apabila mereka menuturkannya, maka tidak seorang pun akan menyangkalnya kecuali orang-orang yang tertipu." Namun, jika orang telah siap dan berhak menerimanya, maka tidak sepantasnya merahasiakannya kepadanya. Sebab, menyembunyikan ilmu dari ahlinya tidaklah lebih kecil bahayanya daripada menyebarkannya di kalangan orang-orang yang bukan ahlinya. Seorang penyair pemah berujar "Barangsiapa memberikan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya, berarti dia telah menyia-nyiakannya. Dan barangsiapa menutup ilmu dari orang yang berhak mengetahuinya, sungguh ia telah berbuatan aniaya”.Al-Ghazâlî sering memberikan contoh tentang adanya kasyf ini dengan masalah mimpi. Dalam mimpi orang dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh mata atau rasio. Kalau kasyf bo1eh terjadi dikala tidur, maka tidak mustahil juga hal itu terjadi dikala jaga. Sebenamya tidak ada bedanya antara tidur dan jaga itu, kecuali hanya pada diamnya alat-alat indera dan ketidaksibukannya alat-alat indera itu terhadap benda-benda yang diamatinya. Banyak orang yang terbuka matanya, yang sedang tenggelam dalam lamunan, tidak melihat atau mendengar apa-apa karena dia sibuk akan urusan dirinya. Pemberitaan Rasulullah saw tentang masalah-masalah gaib dan hal-hal yang akan terjadi di masa depan, kata al-Ghazali, juga merupakan bukti tentang adanya kasyf. Jika yang demikian boleh terjadi pada Nabi saw, maka tentu boleh pula terjadi kepada selainnya, karena beliau sebagai lambang dari suatu pribadi Al-Ghazali, al-Munqidz, 7. Al-Ghazali, Ihya‟, I, 21. Al-Ghazali, Misykât, 39-40. Al-Ghazali, Ihya‟, III, 24. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah yang baginya tersingkap hakikat segala sesuatu dan diberi tugas untuk memperbaiki keadaan makhluk. Juga tidak mustahil kalau di alam ini ada pribadi yang baginya tersingkap segala hakikat, meskipun dia tidak bertugas memperbaiki keadaan makhluk. Pribadi semacam ini bukan nabi, tetapi disebut Dengan demikian, jika hakikat segala sesuatu tersingkap secara jelas bagi seseorang lewat ilham yang dilimpahkan Tuhan ke dalam kalbu, maka dia telah memperoleh suatu ilmu yang tidak diragukan lagi kebenarannya, yang disebut dengan makrifah. Itulah sebabnya, maka al-Ghazâlî menyebut makrifah sebagai ilmu mukasyafah. Kemungkinan adanya kasyf, kata al-Ghazali, telah ditegaskan oleh dalil-dalil nakli. Rasulullah saw bersabda "Barangsiapa beramal sesuai dengan ilmunya, niscaya Allah akan memberinya ilmu yang belum dia ketahui; dan akan memberinya taufik pada apa yang dia kerjakan hingga dia layak mendapatkan surga. Dan barangsiapa tidak mau beramal dengan apa yang telah diketahuinya, niscaya dia akan tersesat pada apa yang dia ketahui; dan tidak akan mendapatkan taufik pada apa yang dia kerjakan hingga dia pantas mendapatkan neraka." Allah SWT berfirman "Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar." 652. Maksudnya, kata al-Ghazali, adalah jalan keluar dari kesulitan dan keraguan. "Dan memberinya rezeki tanpa disangka-sangka." Yakni Allah akan memberinya ilmu tanpa belajar dan membuatnya pintar tanpa berlatih. Makrifah, menurut al-Ghazali, berarti ilmu yang meyakinkan. Maksudnya, suatu "pengetahuan" yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapa pun dan apa pun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Sebab, makrifah yang bersiiat haqq al-yaqin itu adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari sumbernya, Allah SWT dalam kondisi musyahadah dan mukasyafah. Karena itulah Abû Nashr al-Sarraj al-Tusi mengartikan yaqin dengan tersingkapnya sesuatu secara jelas dan nyata al-mukasyafah. Sejalan dengan itu, maka al-Ghazâlî meraberikan batasan makrifah dengan "mengetahui rahasia-rahasia Ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya yang meliputi segala yang maujud. Dari keterangan di atas, tampak bahwa hakikat makrifah dalam ajaran tasawuf al-Ghazâlî adalah pengenalan terhadap rahasia segala sesuatu. Meskipun demikian, sebagaimana sufi-sufi yang lain, hakikat makrifah dalam pandangan al-Ghazâlî lebih terorientasi pada pengenalan terhadap Allah untuk mencapai tingkat tauhid yang sesungguhnya. Tingkat makrifah yang harus dicapai, menurutnya, adalah bertemu liqa‟ dan melihat ru‟yah Allah, yang disebutnya dengan istilah. "memandang kepada wajah Allah Ta'ala. Inilah kenikmatan yang paling tinggi dan paripuma yang tidak ada bandingannya [ ] Al-Ghazali, Ihya‟, 24. Studia Insania Vol. 4, No. 1 DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali. Jakarta Bulan Bintang, 1975. Arberry, Sufism An Account of the Mystics of Islam. LondonUnwin Paperbacks, 1973. „Azim, „Ali „Abd al-. Falsafah al-Ma‟rifah fi al-Qur‟ân al-Karîm. Cairo al-Hai‟ah al-Âmmah li al-Syu‟ûn wa al-Mathâbi‟ al-Misiryah, 1994. Basil, Victor Said. Manhaj al-Bahs „an al-Ma‟rifah „inda al-Ghazâlî. Beirut Dâr al-Kitâb al-Lubnânî, Basyûnî Ibrahîm. Nasy‟ah al-Tasawwuf al-Islâmî. Cairo Dâr al-Ma‟ârf, Dunyâ, Sulaimân. Al-Haqîqah fi Nazri al-Ghazâlî. Cairo Dâr al-Ma‟ârif, 1971. Fayûmî, Muhammad Ibrâhîm al-. al-Imâm al-Ghazâlî wa „Alâqaha al-Yaqîn bi al-„Aql. Cairo Dâr al-Fikr al-„Arabî, Gardiner, al-Ghazâlî, Madras Allahmad, Calcuta, 1919. Ghallâb, Muhammâd. al-Ma‟arifah „inda Mufakkirî al-Muslimîn. Cairo al-Dâr al-Misiriyah, Ghazâlî, Abû Hamîd al- al-Adab fi al-Dîn. Beirut al-Maktabah al-Syu‟biyah, -. Faisal al-Tafriqah baina al-Islâm wa al-Zindiqah. Mesir al-Matba‟ah al-„Arabiyah, 1343 H. -. Fi Bayân Ma‟rifatillâh. Mesir Maktabah al-Jundî, -. Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn. Beirut Dar al-Fikr, -. Iljâm al-„Awwâm „an „Ilm al-Kalâm. Turkey Hakikat Kitabavi, 1981. -. al-Iqtishâd fi al-I‟tiqad. Mesir Maktabah al-Jundî, -. Kîmiyâ‟ al-Sa‟âdah. Beirut al-Maktabah al-Syu‟biyah, -. Ma‟ârij al-Quds fi Madârij Ma‟rifah al-Nafs. Mesir Matba‟ah al-Sa‟âdah, 1927. -. Minhâj al-„Âbidîn, Cairo Mustafâ al-Bâbî al-Halabî wa Aulâdih, 1337 H. -. Mi‟râj al-Sâlikîn. Mesir Matba‟ah al-Sa‟âdah, 1924. -. Misykât al-Anwâr. Cairo al-Dâr al-Qaumiyah, 1964. -. Mukâsyafah al-Qulûb. Cairo „Abd al-Hamîd Ahmad Hanafi, -. al-Munqiz min al-Dalâl. Turkey Hakikat Kitabevi, 1981. -. Raudah al-Tâlibîn wa „Umdah al-Sâlikîn. Mesir Matba‟ah al-Sa‟adah, 1924. -. Tahâfut al-Falâsifah. Mesir Dâr al-Fikr, Mahmud, „Abd al-Halim. Qadhiyah al-Tahsawwuf al- Munqiz min al-Dalâl. Mesir Dâr al-Kutub al-Haditsah, Mubarak, Zakî, al-Akhlâq „ind al-Ghazâlî. Cairo Dâr al-Kitâb al-„Arabî, 1968. Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta UI-Press, 1982. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah -. Falsafah & Mistisisme dalam Islam. Jakarta Bulan Bintang, 1973. Nicholson, Reynold A. The Idea of Personality in Sufism. Delhi Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1967. ________________. The Mystics of Islam. London Routledge and Kegan Paul, 1975. -. Studies in Islamic Mysticism. London Cambridge University Press, 1921. Rāziq, Abū Bakr „Abd al-. Ma‟a al-Ghazāli fī Munqidzihi min al-Dalāl. Cairo al-Dār al-Qaumiyah, Taftāzānī, Abū al-Wafā‟ al-Ghanīmī, al-. Madkhal ilā al-Tahsawwuf al-Islāmī. Cairo Dār al-Saqāfah li al-TIbā‟ah wa al-Nasyr, 1979. Zwemer, Samuel M.. A Moslem Seeker after God. New York Fleming H. Revell Company, 1920. Studia Insania Vol. 4, No. 1 M. Kharis MajidWinda RoiniAzmi Putri Ayu WardaniMaulida Hasyyah SabrinaPandemic COVID-19 has led to a sharp decline in the economic aspect, educational activities considered less effective, and difficulty performing worship. As a result, people's anxiety has increased dramatically. This study aims to reveal the urgency of spiritual healing in the life of the community during the Pandemic COVID-19 to answer the challenges of how effective it is in tackling the crucial erosion of spirituality amid society. This article is library-based research, and the data were gathered using documentary approaches. With the descriptive analysis approach, using al-Ghazālī's idea of Ma'rifatullāh, this study found that Ma'rifatullāh, through self-recognition, will lead someone to a more peaceful and calmer situation. Its position as a centre of spiritual healing in Taṣawwuf teachings is very effective in overcoming the crisis experienced by the community during the pandemic. Thus, the anxiety and worldly concerns will transform into peace and This article reveals that self-tranquillity and peace are sometimes not dealing with worldly affairs. Instead, it is about spiritual things. However, many tend to forget that the root of their tranquillity is found in the spiritual Mesir Dâr al-Ma " ârif, 1964, 14. 14 Abû Bakr Abd al-Râziq, Ma " a al-Ghazâlî fî Munqidzihi min al-Dhalâl Cairo Al-Dâr al-Qaumiyah, 78-79. 15 Abû Hamîd al-Ghazâlî, IhyâSulaimân DunyâSulaimân Dunyâ, " Al-Ghazâlî Yabhats " an al-Ma " rifah, " dalam al-Ghazâlî, Mîzân al-" Amal Mesir Dâr al-Ma " ârif, 1964, 14. 14 Abû Bakr " Abd al-Râziq, Ma " a al-Ghazâlî fî Munqidzihi min al-Dhalâl Cairo Al-Dâr al-Qaumiyah, 78-79. 15 Abû Hamîd al-Ghazâlî, Ihyâ " " Ulûm al-Dîn, IV Dâr al-Fikr, Beirut, 302. 16 Abû Hamîd al-Ghazâlî, Ihyâ " " Ulûm al-Dîn, IV, Hidup Imam Al-GhazaliZainal AhmadAbidinAhmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali. Jakarta Bulan Bintang, Account of the Mystics of IslamUnwin Paperbacks Azim Abd al-. Falsafah al-Ma " rifah fi al-Qur " ân al-Karîm. Cairo al-Hai " ah al-Âmmah li al-SyuA J ArberrySufismArberry, Sufism An Account of the Mystics of Islam. LondonUnwin Paperbacks, 1973. " Azim, " Ali " Abd al-. Falsafah al-Ma " rifah fi al-Qur " ân al-Karîm. Cairo al-Hai " ah al-Âmmah li al-Syu " ûn wa alMathâbi " al-Misiryah, al-Bahs "an al-Ma"rifah "inda al-GhazâlîVictor BasilSaidBasil, Victor Said. Manhaj al-Bahs "an al-Ma"rifah "inda al-Ghazâlî. Beirut Dâr al-Kitâb al-Lubnânî, al-Tasawwuf al-Islâmî. Cairo Dâr al-Ma " ârfBasyûnî IbrahîmNasyBasyûnî Ibrahîm. Nasy " ah al-Tasawwuf al-Islâmî. Cairo Dâr al-Ma " ârf, fi Nazri al-Ghazâlî. Cairo Dâr al-Ma"ârifSulaimân DunyâDunyâ, Sulaimân. Al-Haqîqah fi Nazri al-Ghazâlî. Cairo Dâr al-Ma"ârif, al-Ghazâlî wa Alâqaha al-Yaqîn bi al-" Aql. Cairo Dâr al-Fikr alMuhammad FayûmîFayûmî, Muhammad Ibrâhîm al-. al-Imâm al-Ghazâlî wa " Alâqaha al-Yaqîn bi al-" Aql. Cairo Dâr al-Fikr al" Arabî, " inda Mufakkirî al-Muslimîn. Cairo al-Dâr al-MisiriyahMuhammâd GhallâbMaGhallâb, Muhammâd. al-Ma " arifah " inda Mufakkirî al-Muslimîn. Cairo al-Dâr al-Misiriyah, Hamîd al-al-Adab fi al-DînGhazâlîGhazâlî, Abû Hamîd al-al-Adab fi al-Dîn. Beirut al-Maktabah al-Syu " biyah, al-Munqiz min al-Dalâl. Turkey Hakikat Kitabevi, 1981.
XCbyX1.
  • omq6if26s7.pages.dev/190
  • omq6if26s7.pages.dev/221
  • omq6if26s7.pages.dev/486
  • omq6if26s7.pages.dev/420
  • omq6if26s7.pages.dev/75
  • omq6if26s7.pages.dev/9
  • omq6if26s7.pages.dev/415
  • omq6if26s7.pages.dev/157
  • pertanyaan tentang ma rifatullah